BAB III
ETIKA BISNIS KONVENSIONAL
(M. Taufiq Abadi MM)
A. Pengertian
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti,
watak, kebiasaan, akhlak, norma. Etika didefinisikan sebagai seperangkat
peratuaran yang menentukan perilaku benar dan salah.[1]
Bisnis adalah suatu kegiatan usaha individu
yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapat
keuntungan dalam memenuhi kebutuhan. Etika bisnis adalah seperangkat peraturan atau norma-norma
yang mengatur kegiatan usaha individu (bisnis) agar bisnis berjalan dengan
lancar, yang bertujuan untuk menggugah kesadaran moral para pelaku bisnis untuk
menjalankan good busines.[2]
Jadi, etika bisnis konvensional adalah seperangkat nilai tentang
baik, buruk, benar, dan salah paham dalam dunia bisnis berdasarkan prinsip-prinsip moralitas yang secara umum untuk menjalankan good business
dan dapat menghasilkan keuntugan yang menjadi tujuan dari bisnis dalam kerangka
memenuhi kebutuhan.
Etika bisnis merupakan
studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini
berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan,
institusi, dan perilaku bisnis.
Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.
Macam-macam etika bisnis konvensional
Menurut Dawam Rahardjo (1995: 32) etika bisnis beroperasi pada tiga tingkat, yaitu; individual, organisasi, dan sistem. Pada tingkat individual, etika bisnis mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang, atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan perusahaan dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya. Pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan berdasarkan sistem etika tertentu. Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas hanya dipegang oleh pelaku bisnis yang kurang berhasil dalam berbisnis. Sementara para pelaku bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan manajemen konflik (Dawam Rahardjo, Ibid: 16). Hal ini tidak hanya di Dunia Timur, di Dunia Barat atau negara-negara industri maju, citra bisnis tidak selalu baik. Setidak-tidaknya seperti yang dikatakan oleh Withers (Ibid.) bahwa dalam bisnis itu pada dasarnya berasaskan ketamakan, keserakahan, dan semata-mata berpedoman kepada pencarian laba
Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.
Macam-macam etika bisnis konvensional
Menurut Dawam Rahardjo (1995: 32) etika bisnis beroperasi pada tiga tingkat, yaitu; individual, organisasi, dan sistem. Pada tingkat individual, etika bisnis mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang, atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan perusahaan dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya. Pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan berdasarkan sistem etika tertentu. Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas hanya dipegang oleh pelaku bisnis yang kurang berhasil dalam berbisnis. Sementara para pelaku bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan manajemen konflik (Dawam Rahardjo, Ibid: 16). Hal ini tidak hanya di Dunia Timur, di Dunia Barat atau negara-negara industri maju, citra bisnis tidak selalu baik. Setidak-tidaknya seperti yang dikatakan oleh Withers (Ibid.) bahwa dalam bisnis itu pada dasarnya berasaskan ketamakan, keserakahan, dan semata-mata berpedoman kepada pencarian laba
Prinsip-prinsip etika bisnis konvensional terdiri dari beberapa
prinsip,diantaranya:
1. Prinsip Utilitarianisme
Pendekatan utilitarianisme
menyatakan bahwa “arti penting moralitas yang menuntun seseorang dapat
ditentukan hanya berdasarkan konsekuensi perilakunya. Suatu tindakan disebut
etis jika memberikan hasil yang berupa keuntungan atau kebaikan terbesar bagi
sebagian besar orang.[3]
Utilitis dapat diartikan
sebagai hal yang berguna/bermafaat. Sehingga ukuran baik atau buruk suatu
perbuatan dilihat dari perbuatan itu bermanfaat atau tidak,member keuntungan
atau kerugian.[4]
Menurut Bertens, teori ini cocok dengan pemikiran
ekonomis yang cukup dekat dengan cost benefit analysis yang banyak dipakai
dalam konteks ekonomi seperti dalam menghitung untung rugi dalam bisnis.
Dengan demikian, tentu saja orang akan selalu berpikir
untuk mencari untung yang sangat besar kendati keuntungan itu hanya dinikmati
oleh sebagian orang tanpa menghiraukan kaum minoritas yang merasakan
penderitaan akibat kerugian.[5]
Sistem etika ini menghadapi
beberapa masalah yang menjadi
kritik terhadapnya jika dibandingkan dengan prinsip islam diantaranya:
Ø Siapakah yang
menentukan apa yang baik bagi sebagian besar orang ?
Ø Bagaimana dangan
kaum minoritas jika yang dikatakan etis itu yang memberi keuntungan terbesar
bagi mayoritas ?
Ø Bagaimana
kerugian dan keuntungan bisa dinilai pada persoalan yang tidak bisa diukur ?
Ø Hak dan kewajiban
individu diabaikan demi kepentingan hak dan kewajiban kolektif.
Akhirnya paham utilitarian
menetapkan hakikat etis tindakan di masa depan dengan menimbang kerugian dan
keuntungannya. Ini dapat dilihat dalam pendekatan mikroekonomi etika bisnis
barat yang paling mendasar.
Paham mikroekonomi menekankan
hukum pareto optimality. Hukum ini menekankan efisiensi penggunaan sumber daya
untuk memuaskan kebutuhan konsumen, mengesampingkan semua kebutuhan untuk
mempertimbangkan persoalan-persoalan etis, dan menekankan secara berlebihan
upaya maksimalisasi keuntungan.[6]
2. Prinsip Universalisme
Berbeda dengan pandangan
utilitarian yang menekankan aspek hasil suatu keputusan, universalisme
memfokuskan diri pada tujuan suatu keputusan atau tindakan.
Prinsip kunci dari
universalisme adalah prinsip kant tentang imperatif kategoris yang terdiri dari
:
Ø Pertama,
seseorang harus memilih untuk bertindak, hanya jika ia berkemauan untuk memberi
kesempatan setiap orang di muka bumi dalam situasi yang sama untuk membuat
keputusan yang sama dan bertindak dengan cara yang sama.
Ø Kedua, orang lain
harus diperlakukan sebagai tujuan, tidak semata sebagai alat untuk mencapai
tujuan.
Sebagai konsekuensi,
pendekatan ini memfokuskan diri pada kewajiban yang harus dilakukan seorang
individu terhadap individu lain dan juga terhadap kemanusiaan.
Menurut Kant persoalan
universalisme berhubungan dengan yang disebut kant
sebagai “kewajiban”, sehingga hanya ketika kita bertindak
berdasarkan kewajiban kita maka tindakan kita bisa disebut bersifat etis. Jika
kita bertindak semata-mata karena dorongan perasaan atau kepentingan pribadi,
maka tindakan kita tidak memiliki nilai moral sama sekali.[7]
Namun, dengan niat (tujuan)
baik semata tindakan yang tidak etis tidak serta merta menjadi bersifat etis.
Seperti dikemukakan Yusuf al Qaradawi jika kita kaitkan dengan ajaran islam, niat (tujuan) baik
tidak menjadikan yang haram menjadi bisa diterima.
3. Prinsip Hak-Hak
Pendekatan hak terhadap etika
menekankan sebuah nilai tunggal yaitu kebebasan. Keputusan atau tindakan
dikatakan etis apabila tindakan atau keputusan itu didasarkan pada hak-hak
individu yang menjamin kebebasan memilih. Dapat dipahami bahwa setiap individu mempunyai hak (kebebasan) untuk
menentukan nasibnya sendiri.
Oleh karena itu, orang lain tidak boleh melanggar hak
itu terlebih lagi memperalat demi tujuan orang lain karena sama halnya dengan
merampas hak orang lain. Pendekatan ini berkeyakinan bahwa individu memiliki hak-hak
moral yang bersifat tidak dapat ditawar-tawar. Anatara hak dan kewajiban harus seimbang, dan sebelum
menuntut hak seseorang harus terlebih dahulu menunaikan kewajibannya. Begitu
juga dalam berbisnis setiap pihak harus memberikan hak orang dan menunaikan
kewajibannya. Sebagai contoh, dalam
industri setiap pekerja memiliki hak untuk mendapatkan upah yang adil dan lingkungan
kerja yang aman, istirahat yang
cukup,izin cuti, begitu juga para majikan memiliki hak untuk berharap
agar perdagangannya tetap rahasia, tidak dibocorkan oleh para pekerjanya, dan karyawan menunaikan kewajibannya untuk bekerja disiplin,meningkatkan
prestasi.[8]
Akan tetapi pendekatan hak ini
dapat disalahgunakan oleh sejumlah individu yang bersikeras mengatakan bahwa
hak-hak mereka lebih tinggi dibandingkan hak orang lain dan ketidakadilanlah
yang akan terjadi. Hak juga membutuhkan pembatasan-pembatasan. Peraturan
industri yang menguntungkan masyarakat barangkali masih tetap menginjak-injak
hak sejumlah individu. Sebagai contoh, peraturan industri yang terlalu ketat
yang mengharuskan aturan pakaian husus tertentu demi alasan keamanan barangkali
sebaiknya tidak perlu mengesampingkan kepentingan kaum perempuan muslim untuk
berpakaian secara sopan sesuai
aturan agamanya karena itu bisa melanggar hak orang (karyawan).
Mengacu pada prinsip hak yaitu fokus pada
kebebasan,sebaiknya setiap kegiatan bisnis itu bebas karena setiap pengusaha
tahu mana yang baik dan mana yang buruk,tahu mengenai bidang kegiatannya, faham
situasi yang dihadapinya, serta aturan yang berlaku untuk kegiatannya sehingga
mampu mengambil keputusan sendiri dan bertindak berdasarkan keputusan itu,
dalam hal ini kebebasan adalah syarat mutlak agar manusia bisa bertindak secara
etis. Karena tindakan etis adalah tindakan yang bersumber dari kemauan baik
serta kesadaran pribadi. [9]
4. Prinsip Keadilan distributive
Pendekatan keadilan
distributif terhadap etika berkisar pada satu nilai yaitu keadilan. Agar
disebut etis,suatu keputusan dan tindakan harus menjamin pembagian kekayaan,
keuntungan dan kerugian secara adil. Terdapat lima prinsip yang digunakan untuk
menjamin pembagian keuntungan dan kerugian secara adil, yaitu :
a. Setiap
orang mendapatkan pembagian yang sama. Sebagai contoh,ketika suatu perusahaan
membagikan keuntungan tahunannya, setiap orang yang berhak harus menerima bagian
yang sama dengan yang lain.
b. Setiap
orang mendapatkan bagian sesuai kebutuhan masing-masing. Sumber daya seharusnya
dialokasikan kepada setiap individu atau departemen berdasarkan tingkat
kebutuhan yang mereka perlukan.
c. Setiap
orang mendapatkan bagian sesuai usaha masing-masing.
d. Setiap
orang mendapat bagian sesuai kontribusi sosial masing-masing. Contoh,jika suatu
perusahaan membuat program khusus mengenai persoalan-persoalan sosial seperti
pencemaran lingkungan,maka perusahaan tersebut harus mendapat
penghargaan,sementara perusahaan lain yang kurang member perhatian terhadap
persoalan tersebut tidak mendapat penghargaan.
e. Setiap
orang mendapat bagian sesuai jasanya. Misalnya dalam suatu perusahaan pada
pembuatan keputusan-keputusan promosi, rekruitmen,dan pemecatan harus dilakukan
berdasarkan jasa individu dan tidak ada alasan lain seperti
nepotisme,faporitisme,atau kapentingan pribadi.
Implementasi ajaran keadilan dalam bisnis harus
dikaitkan dengan pembagian manfaat kepada semua komponen dan pihak yang
terlibat langsung maupun tidak langsung sesuai dengan peran dan kontribusi yang
telah diberikan terhadap keberhasilan dan kegagalan dari kegiatan bisnis yang
dilakukan oleh pelaku bisnis secara seimbang dan adil atau sepadan.[10]
Islam juga mendukung sikap
keadilan dan semua prinsip dalam pendekatan keadilan distributive terhadap
etika dalam proporsi yang seimbang tetapi bukan mendukung prinsip keadilan
buta. Nilai etika juga tidak dapat dikesampingkan dalam pengambilan
keputusan,dan jika hal itu diabaikan maka akan terjadi kekacauan dalam
pengambilan keputusan dan ketidakadilan. Sebagai contoh,pengambilan keputusan
pada hukuman bagi pemakai kokain dan ganja Amerika. Dimana hukuman bagi pemakai
kokain lebih ringan dibandingkan dengan pemakai ganja dengan alasan
kokain adalah obat-obatan yang banyak dipakai orang kaukasian amerika,
sementara ganaja adalah kokain mentah yang banyak diukonsumsi orang
afro-amerika.[11]
5. Prinsip Hukum
Tuhan
Keputusan-keputusan etis dibuat berdasarkan hukum
Tuhan yang ada di dalam kitab suci dan tanda-tanda alam. Banyak penulis
(termasuk Thomas Aquinas) percaya bahwa dengan mempelajari baik kitab suci
maupun alam, manusia akan dapat bersikap etis. Sebagai contoh dalam bisnis,
etika yang berdasarkan hukum tuhan dalam kitab suci tenteng keuntungan dan
bunga. Dimana keuntungan para pedagang dan bunga tidak ditolak atau tidak
dilarang dalam alkitab sebagai mana yang dikutip dari pendapat Calvijn, bahkan
para pengikut calvijn mengungkapkan prinsip berdo’a dan bekerja.[12]
Islam memiliki persepektif yang berbeda, seperti yang
diungkapkan Taha Jabir al ‘Alwani bahwa manusia telah diperintahkan oleh Allah
untuk melakukan dua bentuk pembacaan yang berbeda secara terus-menerus:
Pembacaan firman-firman Allah (Qur’an) dan pembacaan alam semesta. Mereka yang
hanya melakukan pembacaan dalam bentuk yang pertama akan menjadi asketis.
Kadangkala, pembacaan seperti ini akan membuat mereka tiadak seimbang dan tidak
mampu untuk berpikir sendiri. Mereka menyerah terhadap semua tindakan yang
bersipat independen dan gagal mempertanggung jawabkan tugasnya sebagai hamba
allah SWT (istikhlaf) atau penjaga janji allah SWT (amanah). Mereka yang hanya
menekankan pembacaan dalam bentuk yang kedua “tidak memiliki kemampuan untuk
menjawab pertanyaan terdalam”, dan seringkali menafikan segala sesuatu yang
adadiluar kemampuan mereka untuk mencerap dengan sarana “super natural”. Yang
lebih buruk lagi, jika mereka tidak percaya sama sekali, mereka percaya kepada
tuhan yang mereka ciptakan sendiri, dan sering kali mempersamakan tuhan dengan
alam itu sendiri. Pembacaan satu sisi seperti ini hanya akan membawa kepada
sikap shirk atau teori-teori abestrak seperti eksistensialisme,pantheisme, atau
bahkan materialisme dialektis. Karenanya, kaum muslim harus melakukan kedua
bentuk pembacaan tersebut secara bersama-sama.
Sebagai hasil dua pembacaan ini, aturan etika
islam berbeda dengan aturan moral seperti yang cenderung menekankan
sifat kesementaraan kehidupan ini, dan nilai-nilai meditasi serta penyingkiran
dari dunia ini seperti yang dilakukan oleh agama kristen dan beberapa agama
timur lainnaya.[13]
6. Prinsip Prinsip
Relativisme
Prinsip relativisme menekankan bahwa tidak ada
kriteria tunggal,universal yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan suatu
tindakan yang etis atau tidaknya. Setiap orang menggunakan kriterianya
masing-masing dalam menentukan etis atau tidaknya suatu tindakan dan
kriteria-kriteria itu mungkin sekali akan berbeda dari satu kebudayaan dengan
kebudayaan yang lain. Sehingga karakter etis dalam nilai-nilai dan perilaku
sosial yang berbeda itu harus dilihat dalam konteks budaya secara khusus.
Karenanya, aktivitas bisnis di suatu negara dengan negara lain akan saling
berbeda karena terikat oleh norma dan nilai-nilainya tersendiri dari setiap
negara.
Jadinya, prinsip ini menekankan adanya
perbedaan-perbadaan kriteria dari setiap negara dalam menentukan tindakan etis
tergantung dari negara itu tersendiri yang dilihat kebudayaan yang
masing-masing yang mengikatnya.[14]
Prinsip ini menimbulkan beberapa persoalan yang
menjadi kritikan baginya yaitu:
1) Paham dari
prinsip relativisme bersipat berpusat pada diri sendiri.
Paham ini hanya memfokuskan perhatian semata-mata pada
individu dan mengabaikan interaksi dan masukan-masukan dari unsur luar.
Sehingga prinsip ini sangat berlawan dengan prinsip islam yang menekankan pada
kriteria-kriteria yang ada dalam al-qur’an dan sunah rasul.
2) Prinsip
relativisme mengimplikasikan sikap pemalas secara tidak langsung dalam diri si
pembuat keputusan karena ia akan membenarkan perilakunya hanya dengan merujuk
pada kriteria yang didasarkan pada kepentingan pribadinya.
Tentu saja hal ini sangat berbeda dengan islam yang
mengajarkan musyawarah dalam pengambilan keputusan. Jadi, dengan prinsip ini
akan muncul sikap egoisme, karena dalam pembuatan keputusan hanya merujuk pada
kriteria yang didasarkan pada kepentingan pribadi.[15]
KESIMPULAN
Dari uraian singkat diatas dapat di simpulkan bahwa
etika bisnis sangat penting dalam berbisnis supaya bisnis berjalan dengan
lancar dan tertib. Diman etika bisnis di bagi dua yaitu etika bisnis
konvensional yang di bahas pada uraian di atas dan etika bisnis islam yang akan
di bahas pada makalah selanjutnya tapi sudah di disinggung sedikit di
pembahasan ini.
Etika bisnis konvensional adalah seperangkat nilai tentang
baik, buruk, benar, dan salah paham dalam dunia bisnis berdasarkan prinsip-prinsip moralitas yang secara umum untuk menjalankan good business
dan dapat menghasilkan keuntugan yang menjadi tujuan dari bisnis dalam kerangka
memenuhi keutuhan.
Prinsip-prinsip dari etika bisnis konvensional terdiri
dari :
1. Prinsip Utilitiarianisme
2. Prinsip Universalisme
3. Prinsip Hak-Hak
4. Prinsip Keadilan Distributif
5. Prinsip Hukum Tuhan
6. Prinsip Relativisme
1.
DAFTAR FUSTAKA
Beekum, Rafik Issa, Etika Bisnis Islami,Yogyakarata:
Pustaka Pelajar,1996
Rindjin, Ketut, Etika Bisnis Dan
Implementasinya, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama,2004
Anas, Muhammad,Penerapan Etika Bisnis Islam,_________,2008
Djakfar, Muhammaad, Etika Bisnis Islam,
Malang: UIN-Malang Press,2008
Bartens, Pengantar Etika Bisnis,
Yogyakarta: Kanisius, 2000
Lubis, Suhrawardi, Etika Profesi Hukum,
Jakarta: Sinar Grafika,1993
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis Islam
(Malang: Malang Press, 2008) hlm.39
[12] Ketut
Ridjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: PT.Gramedia Puataka
Utama,2004) hlm.49
No comments:
Post a Comment