BAB V
PRODUKSI, KONSUMSI DAN DISTRIBUSI DALAM ISLAM
(M. Taufiq Abadi MM)

A.
PRODUKSI
DALAM ISLAM
1.
Pendahuluan
Produksi merupakan sebuah proses
yang telah terlahir di muka bumi ini semenjak manusia menghuni planet ini.
Menurut Dr. Muhammad Rawwas Qalahji kata “Produksi” dalam bahasa Arab dengan
kata al-Intaj yang secara harfiah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewjudkan
atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin
min ‘anashir alintaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang
jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsurnsur Produksi yang
terbingkai dalam waktu yang terbatas).
Produksi menurut Kahf mendefenisikan
kegiatan Produksi dalam prespektif Islam sebagai usaha manusia untuk
memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas,
sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama
Islam, yaitu kebahagian di dunia dan akhirat.
Dari dua pengertian di atas Produksi
adalah setiap bentuk aktivitas yang dilakukan mansia dengan cara mengeksplorasi
sumber-sumber ekonomi yang disediakan Allah Swt untuk mewujudkan suatu barang
dan jasa yang digunakan tidak hanya untuk kebutuhan fisik tetapi juga untuk
memenuhi kebutuhan non fisik, dalam artian yang lain Produksi dimaksudkan untuk
mencapai maslahah bukan hanya menciptakan materi.[1]
Produksi sangat prinsip bagi
kelangsungan hidup dan juga peradaban manusia dan bumi. Sesungguhnya Produksi
lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam.[2]
Kegiatan Produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan Produksilah
yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa
Produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk
menghasilkan barang dan jasa kegiatan Produksi melibatkan banyak faktor Produksi.
Fungsi Produksi menggambarkan hubungan antar jumlah input dengan output yang
dapat dihasilkan dalam satu waktu periode tertentu.[3]
Dalam teori Produksi memberikan penjelasan tentang perilaku produsen
tentang perilaku produsen dalam memaksimalkan keuntungannya maupun
mengoptimalkan efisiensi Produksinya. Dimana Islam mengakui pemilikian
pribadi dalam batas-batas tertentu termasuk[4]
pemilikan alat Produksi, akan tetapi hak tersebut tidak mutlak.
2.
Prinsip-prinsip Produksi
Beberapa prinsip yang diperhatikan
dalam prduksi, antara lain dikemukakan Muhammad al-Mubarak, sebagai berikut:[5]
a.
Dilarang memProduksi
dan memperdagangkan komoditas yang tercela karena bertentangan dengan syariah.
b.
Di larang
melakukan kegiatan Produksi yang mengarah kepada kedzaliman.
c.
Larangan
melakukan ikhtikar (penimbunan barang).
d.
Memelihara
lingkungan
Di bawah ini ada beberapa implikasi mendasar bagi kegiatan Produksi dan perekonomian
secara keseluruhan, antara lain :
2. Kegiatan Produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan
3.
Ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang Prinsip Produksi
Salah satu ayat tentang Produksi
yaitu Ayat yang berkaitan dengan faktor Produksi
Tanah dalam Surat As-Sajdah : 2
“Dan apakah mereka tidak
memperhatikan, bahwasanya kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanaman
yang daripadanya makan hewan ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah
mereka tidak memperhatikan?”
Ayat diatas
menjelaskan tentang tanah yang berfungsi sebagai penyerap air hujan dan
akhirnya tumbuh tanaman-tanaman yang terdiri dari beragam jenis. Tanaman itu
dapat dimanfaatkan manusia sebagai faktor Produksi alam, dari tanaman tersebut
juga dikonsumsi oleh hewan ternak yang pada akhirnya juga hewan ternak
tersebut diambil manfaatnya (diProduksi) dengan berbgai bentuk seperti diambil
dagingnya, susunya dan lain sebagaiya yang ada pada hewan ternak tersebut.
Ayat ini
juga memberikan kepada kita untuk berfikir dalam pemanfaatan sumber daya
alam dan proses terjadinya hujan. Jelas sekali menunjukkan adanya suatu
siklus Produksi dari proses turunnya hujan, tumbuh tanaman, menghasilkan
dedunan dan buah-buahan yang segar setelah di disiram dengan air hujan dan pada
akhirnya diakan oleh manusia dan hewan untuk konsumsi. Siklus rantai makanan
yang berkesinambungan agaknya telah dijelskan secara baik dalam ayat ini.
Tentunya puila harus disertai dengan prinsip efisiensi[8] dalam memanfaatkan seluruh batas kemungkinan Produksinya. Sedangkan di dalam hadit, salah satunya sebagai
berikut:
HR Bukhari – Nabi mengatakan, “Seseorang yang mempunyai sebidang tanah
harus menggarap tanahnya sendiri, dan jangan membiarkannya. Jika tidak digarap,
dia harus memberikannya kepada orang lain
untuk mengerjakannya. Tetapi bila kedua-duanya tidak dia lakukan – tidak
digarap, tidak pula diberikan kepada orang lain untuk mengerjakannya – maka
hendaknya dipelihara/dijaga sendiri. Namun kami
tidak menyukai hal ini.”
Hadits
tersebut memberikan penjelasn tentang pemanfaatan faktor Produksi berupa tanah
yang merupakan faktor penting dalam Produksi . Tanah yang dibiarkan begitu saja
tanpa diolah dan dimanfaatkan tidak disukai oleh Nabi Muhammad SAW karena tidak
bermanfaat bagi sekelilingnya. Hendaklah tanah itu digarap untuk dapat ditanami
tumbuhan dan tanaman yang dapat dipetik hasilnya ketika panen dan untuk
pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, penggarapan bisa dilakukan oleh si
empunya tanah atau diserahkan kepada orang lain.
4.
Tujuan Produksi [8]
Menurut Nejatullah ash-Shiddiqi,
tujuan Produksi sebagai berikut:
a.
Pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan individu secara wajar
b.
Pemenuhan
kebtuhan keluarga
c.
Bekal untuk
generasi mendatang
d.
Bantuan
kepada masyarakat dalam rangka beribadah kepada Allah.
e.
Menurut Ibnu
Khaldun dan beberapa ulama lainnya berpendapat, kebutuhan manusia dapat
digologkan kepada tiga kategori, yaitu dharuriyah, hajjiyat, tahsiniyat.
a.
Tanah dan
segala potensi ekonomi di anjurkan al-Qur’an untuk di olah dan tidak dapat
dipisahkan dari proses Produksi.
b.
Tenaga kerja
terkait langsung dengan tuntutan hak milik melalui Produksi.
c.
Modal,
manajemen dan tekhnologi.
6.
Etika dalam Produksi
Etika dalam berProduksi yaitu
sebagai berikut[10]:
a.
Peringatan
Allah akan kekayaan alam.
b.
BerProduksi
dalam lingkaran yang Halal. Sendi utamanya dalam berProduksi adalah bekerja,
berusaha bahkan dalam proses yang memProduksi barang dan jasa yang toyyib,
termasuk dalam menentukan target yang harus dihasilkan dalam berProduksi.
c.
Etika
mengelola sumber daya alam dalam berProduksi dimaknai sebagai proses
menciptakan kekayaan dengan memanfaatkan sumber daya alam harus bersandarkan
visi penciptaan alam ini dan seiring dengan visi penciptaan manusia yaitu
sebagai rahmat bagi seluruh alam.
d.
Etika dalam
berProduksi memanfaatkan kekayaan alam juga sangat tergantung dari nilai-nilai
sikap manusia, nilai pengetahuan, dan keterampilan. Dan bekerja sebagai sendi
utama Produksi yang harus dilandasi dengan ilmu dan syari’ah islam.
e.
Khalifah di
muka bumi tidak hanya berdasarkan pada aktivitas menghasilkan daya guna suatu
barang saja melainkan Bekerja dilakukan dengan motif kemaslahatan untuk mencari
keridhaan Allah Swt.
Namun secara umum etika dalam islam
tentang muamalah Islam, maka tampak jelas dihadapan kita empat nilai utama,
yaitu rabbaniyah, akhlak, kemanusiaan dan pertengahan. Nilai-nilai ini
menggambarkan kekhasan (keunikan) yang utama bagi ekonomi Islam, bahkan dalam
kenyataannya merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh yang tampak jelas pada
segala sesuatu yang berlandaskan ajaran Islam. Makna dan nilai-nilai pokok yang
empat ini memiliki cabang, buah, dan dampak bagi seluruh segi ekonomi dan
muamalah Islamiah di bidang harta berupa Produksi, konsumsi, sirkulasi, dan
distribusi.
B.
KONSUMSI
DALAM ISLAM
1.
Pengertian
dan Tujuan Konsumsi dalam Islam
Salah satu persoalan penting dalam
kajian ekonomi Islam ialah masalah konsumsi. Konsumsi berperan sebagai
pilar dalam kegiatan ekonomi seseorang (individu), perusahaan maupun negara.
konsumsi secara umum diformulasikan dengan : ”Pemakaian dan penggunaan barang –
barang dan jasa, seperti pakaian, makanan, minuman, rumah, peralatan rumah
tangga, kenderaan, alat-alat hiburan, media cetak dan elektronik, jasa
telephon, jasa konsultasi hukum, belajar/ kursus, dsb”.
Berangkat dari pengertian ini, maka
dapat dipahami bahwa konsumsi sebenarnya tidak identik dengan makan dan minum
dalam istilah teknis sehari-hari; akan tetapi juga meliputi pemanfaatan atau
pendayagunaan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Namun, karena yang paling
penting dan umum dikenal masyarakat luas tentang aktivitas konsumsi adalah
makan dan minum, maka tidaklah mengherankan jika konsumsi sering diidentikkan
dengan makan dan minum.
Tujuan konsumsi dalam Islam adalah
untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian,
perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah
terlaksanaya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya, manusia makan
dan minum agar bisa beribadah kepada Allah. Manusia berpakaian untuk menutup
aurat agar bisa shalat, haji, bergaul sosial dan terhindar dari perbuatan mesum
(nasab)
Sebagaimana disebut di atas, banyak
ayat dan hadits yang berbicara tentang konsumsi, di antaranya Surat al A’raf
ayat 31. Ayat ini tidak saja membicarakan konsumsi makanan dan minuman, tetapi
juga pakaian. Bahkan pada ayat selanjutnya (ayat 33) dibicarakan
tentang perhiasan.
Menurut Abdul Mannan bahwa perintah
Islam mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip, yaitu:
a.
Prinsip
Keadilan
b.
Prinsip
Kebersihan
c.
Prinsip
Kesederhanaan
d.
Prinsip
Kemurahan Hati
e.
Prinsip
Moralitas.
Etika konsumsi menurut Naqvi adalah
sebagai berikut:
a.
Tauhid (Unity/
Kesatuan)
Karakteristik
utama dan pokok dalam Islam adalah “tauhid” yang menurut Qardhawi dibagi
menjadi dua kriteria, yaitu rubaniyyah gayah (tujuan) dan wijhah (sudut
pandang).
Kriteria
pertama menunjukkan maksud bahwa tujuan akhir dan sasaran Islam adalah menjaga
hubungan baik dan mencapai ridha-Nya. Sehingga pengabdian kepada Allah
merupakan tujuan akhir, sasaran, puncak cita-cita, usaha dan kerja keras
manusia dalam kehidupan yang fana ini. Kriteria kedua adalah rabbani yang
masdar (sumber hukum) dan manhaj (sistem). Kriteria ini merupakan
suatu sistem yang ditetapkan untuk mencapai sasaran dan tujuan puncak (kriteria
pertama) yang bersumber al-Qur’an dan Hadits Rasul.
b.
Adil (Equilibrium/
Keadilan)
Khursid
Ahmad mengatakan, kata ‘adl dapat diartikan seimbang (balance)
dan setimbang (equlibrium). Atas sebab dasar itu ia menyebutkan konsep al-‘adl
dalam prespektif Islam adalah keadilan Ilahi.
Salah satu
manifestasi keadilan menurut al-Qur’an adalah kesejahteraan. Keadilan akan
mengantarkan manusia kepada ketaqwaan, dan ketaqwaan akan menghasilkan
kesejahteraan bagi manusia itu sendiri.
c.
Free Will (Kehendak
Bebas)
Manusia
merupakan makhluk yang berkehendak bebas namun kebebasan ini tidaklah berarti
bahwa manusia terlepas dari qadha dan qadar yang merupakan hukum
sebab-akibat yang didasarkan pada pengetahuan dan kehendak Tuhan.
d.
Amanah (Responsibility/
Pertanggungjawaban)
Etika dari
kehendak bebas adalah pertanggungjawaban. Dengan kata lain, setelah manusia
melakukan perbuatan maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan
demikian prinsip tanggung jawab merupakan suatu hubungan logis dengan adanya
prinsip kehendak bebas.
e.
Halal
Kehalalan
adalah salah satu kendala untuk memperoleh maksimalisasi kegunaan konsumsi
salam kerangka Ekonomi Islam. Kehalalan suatu barang konsumsi merupakan
antisipasi dari adanya keburukan yang ditimbulkan oleh barang tersebut.
f.
Sederhana
Sederhana
dalam konsumsi mempunyai arti jalan tengah dalam berkomunikasi. Diantara dua
cara hidup yang ekstrim antara paham materilialistis dan zuhud. Ajaran
al-Qur’an menegaskan bahwa dalam berkonsumsi manusia dianjurkan untuk tidak
boros dan tidak kikir.
C.
DISTRIBUSI
DALAM ISLAM
System
ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal pendistribusian harus
berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan.
Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh
nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang
menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak
tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu
dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara
individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Keberadilan
dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam al-qur’an agar supaya
harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar
diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi
kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan (59:7).
Dalam system
ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara menaikkan
tingkat Produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income) adalah
teori yang tidak dapat dibenarkan dan bahkan kemiskinan menjadi salah satu Produksi
dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan
secara tidak adil Fakta empirik menunjukkan, bahwa bukan karena tidak ada
makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan buruknya distribusi
makanan (Ismail Yusanto). Mustafa E Nasution pun menjelaskan bahwa berbagai
krisis yang melanda perekonomian dunia yang menyangkut sistem ekonomi kapitalis
dewasa ini telah memperburuk tingkat kemiskinan serta pola pembagian pendapatan
di dalam perekonomian negara-negara yang ada, lebih-lebih lagi keadaan
perekonomian di negara-negara Islam.
Islam sangat
mendukung pertukaran barang dan menganggapnya Produksitif dan mendukung para
pedangang yangg berjaln di muka bumi mencari sebagian dari karunia Allah, dan
membolehkan orang memiliki modal untuk berdagang, tapi ia tetap berusaha agar
pertukaran barang itu berjalan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.
Tetap
mengumpulkan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
b.
Antara dua
penyelenggara muamalat tetap ada keadilan dan harus tetap ada kebebasan ijab
kabul dalam akad-akad.
c.
Tetap
berpengaruhnya rasa cinta dan lemah lembut.
d.
Jelas dan
jauh dari perselisihan.
a.
Tujuan
Dakwah, yakni dakwah kepada Islam dan menyatukan hati kepadanya.
b.
Tujuan
Pendidikan, tujuan pendidikan dalam distribusi adalah seperti dalam surah
at-Taubah ayat 103 yang bermaksud menjadikan insan yang berakhlak karimah.
c.
Tujuan
sosial, yakni memenuhi kebutuhan masyarakat serta keadilan dalam distribusi
sehingga tidak terjadi kerusuhan dan perkelahian.
d.
Tujuan
Ekonomi, yakni pengembangan harta dan pembersihannya, memberdayakan SDM,
kesejahteraan ekonomi dan penggunaan terbaik dalam menempatkan sesuatu.
3.
Etika
Distribusi
a.
Selalu
menghiasi amal dengan niat ibadah dan ikhlas.
b.
Transfaran,
dan barangnya halal serta tidak membahayakan.
c.
Adil, dan
tidak mengerjakan hal-hal yang dilarang di dalam Islam.
d.
Tolong
menolong, toleransi dan sedekah.
e.
Tidak
melakukan pameran barang yang menimbulkan persepsi.
g.
Larangan
Ikhtikar, ikhtikar dilarang karena akan menyebabkan kenaikan harga.
h.
Mencari
keuntungan yang wajar. Maksudnya kita dilarang mencari keuntungan yang
semaksimal mugkin yang biasanya hanya mementingkan pribadi sendiri tanpa
memikirkan orang lain.
i.
Distribusi
kekayaan yang meluas, Islam mencegah penumpukan kekayaan pada kelompok kecil
dan menganjurkan distribusi kekayaan kepada seluruh lapisan masyarakat.
j.
Kesamaan
Sosial, maksudnya dalam pendistribusian tidak ada diskriminasi atau
berkasta-kasta, semuanya sama dalam mendapatkan ekonomi.[16]
4.
Jaminan
Sosial (Takaful Ijtima’)
Setiap
individu mempunyai hak untuk hidup dalam sebuah negara, dan setiap warga negara
dijamin untuk memperoleh kebutuhan pokoknya masing-masing. Dan terdapat
persamaan sepenuhnya diantara warga negara apabila kebutuhan pokoknya sudah
terpenuhi.[17]
Menurut
Syekh Mahmud Syaltut, bahwa jaminan sosial adalah suatu keharusan diantara
keharusan-keharusan persaudaraan, bahkan suatu yang paling utama, yaitu
perasaan tanggung jawab dari yang satu terhadap yang lain, dimana setiap orang
turut memikul beban saudaranya, dan dipikul bebannya oleh saudaranya, dan
selanjutnya ia harus bertanggung jawab terhadap dirinya dan bertanggung jawab
terhadap saudaranya.[18]
Jaminan
sosial dapat memberikan standar hidup yang layak, termasuk penyediaan pangan,
pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya kepada setiap anggota
masyarakat.[19]
KASUS TENTANG ETIKA BISNIS ISLAM
DALAM DISTRIBUSI
Polres
Karawang, Jawa Barat, Jumat (14/02) siang, membongkar penimbunan 560 ton beras
untuk orang miskin di gudang Bulog di daerah Cilamaya.
Dalam
melakukan tindakan manipulasinya, tersangka WS yang juga oknum Bulog meletakkan
palet-palet atau tatakan yang dibuat dari papan, diantara tumpukan
karung-karung beras. Sehingga terkesan tumpukan tersebut adalah karung-karung
beras padahal di dalamnya berubah sehingga beras yang disimpannya terkesan
banyak. Dengan cara itulah tersangka menggelapkan stok beras miskin yang
semestinya diperuntukan bagi masyarakat yang tidak mampu.
Menurut
petugas, jumlah beras yang digelapkan tersangka sebanyak 560 ton. Beras
tersebut adalah jatah raskin untuk tahun 2002. Menurut seorang buruh gudang,
pada tahun 2002, stok gabah di gudang tersebut 7000 ton. Enam ribu ton telah
digiling, dan saat ini masih ada 1000 ton gabah.
Petugas
kemudian menyita palet-palet tersebut sebagai barang bukti. Petugas juga akan
terus melakukan pembongkaran untuk memastikan stok beras sebenarnya yang
tersedia di gudang tersebut.(Sujito Santoso/Idh).
Kasus diatas
termasuk penimbunan barang jeis makanan yaitu beras, nabi melarang menimbun
barang pangan selama 40 hari, biasanya pasar akan mengalami fluktuasi jika
sampai 40 hari barang tidak ada dipasar karena ditimbun, padahal masyarakat
sangat membutuhkannya. bila penimbunan dilakukan beberapa hari saja sebagai
proses pendistribusian barang dari produsen ke konsumen,maka belum di anggap
sebagai sesuatu yang membahayakan. Namun bila bertujuan menungu saatnya naik
harga sekalipun hanya satu hari maka termasuk penimbunan yang membahayakan dan
tentu saja diharamkan. Dan pada kasus diatas, penimbunan dilakukan untuk
menggelapkan stok beras miskinyang seharusnya dibagikan kepada masyarakat yang
tidak mampu.
*Islam
melarang penimbunan atau hal-hal yang menghambat pendistribusian barang sampai
ke konsumen. menimbun adalah membeli barang dalam jumlah yang banyak kemudian
menyimpannya dengan tujuan untuk menjualnya lagi dengan harga tinggi.
Penimbunan dilarang dalam islam dikarenakan agar supaya harta tidak hanya
beredar di kalangan orang-orang tertentu.
Penimbunan
termasuk perbuatan yang salah yaitu menyimpang dari peraturan jual-beli atau
perdagangan dalam sistem ekonomi islam yang berdasarkan al-quran dan hadits.
KESIMPULAN
Dengan
penjelasan di atas bahwa semua kegiatan baik Produksi, konsumsi dan distribusi
harus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yaitu prinsip tauhid, prinsip
keadilan, prinsip kebebasan dan prinsip pertanggungjawaban. Manusia dalam
berProduksi, konsumsi dan distribusi harus sesuai dengan etika islam yang
menjadikan kemakmuran dan ketentraman dalam bermasyarakat.
Etika dalam berProduksi yaitu
sebagai berikut:
a.
Peringatan
Allah akan kekayaan alam.
b.
BerProduksi
dalam lingkaran yang Halal.
c.
Etika
mengelola sumber daya alam
d.
Etika dalam
berProduksi harus dilandasi dengan ilmu dan syari’ah islam.
e.
Sebagai
Khalifah di muka.
Etika Konsumsi menurut Islam, antara lain:
a.
Tauhid (Unity/
Kesatuan)
b.
Adil (Equilibrium/
Keadilan)
c.
Free Will (Kehendak
Bebas)
d.
Amanah (Responsibility/
Pertanggungjawaban)
e.
Halal
f.
Sederhana
Etika Distribusi menurut Islam, antara lain:
a.
Larangan
Ikhtikar.
b.
Mencari
keuntungan yang wajar.
c.
Distribusi
kekayaan yang meluas.
d.
Kesamaan
Sosial.
REFERENSI
Ahmad
al-haritsi, fikih ekonomi umar.
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007)
Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Bangkit Daya
Insana, 1995)
Mawardi,
M.Si, Ekonomi Islam, (Pekanbaru: Alaf Riau: 2007)
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2003)
Prof. Dr.
Akhmad Mujahidin, M.Ag, ekonomi islam 2, (Pekanbaru, Mujtahadah Press:
2010)
Sofyan S.
Harahap, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Empat:
2011)
https://zfadly.blogspot.co.id/2013/04/Produksi-konsumsi-dan-distribusi-dalam.html/sabtu,
4 mareet 2017/ 21:56
[1] Ahmad
al-haritsi, fikih ekonomi umar, hlm. 37
[3] A production function dewscribes the relationship between the quantity
of output obtainable per period on time, lihat di Arthur Thompson and John,
Formby, Economics of the Firm : Theory and practice, (New Jersey :
Prentice Hall, 1993)
[5] Mawardi, M.Si, Ekonomi Islam, (Pekanbaru: Alaf Riau: 2007), hlm 65-67
[7] Ibid., hal. 157-158
[8] Mawardi, M.Si, op.cit. hlm. 67-68
[9] Ibid, hlm 69-72
[11] Drs. H. Muh. Said HM, MA, MM, Pengantar Ekonomi Islam (Pekanbaru:
Suska Press, 2008), hlm. 81
[12] Mawardi, M.Si, op.cit. hlm 82-86
[13] Drs. H. Muh. Said HM, MA, MM, op.cit, hlm. 91
[14] Ibid, hlm. 93-94
[15] Sofyan S.
Harahap, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Empat:
2011), hlm. 140
[16] Prof. Dr. Akhmad Mujahidin, M.Ag, ekonomi islam 2, (Pekanbaru,
Mujtahadah Press: 2010), hlm. 21
[17] Ibid, hlm 21-22
[18] Drs. H. Muh. Said HM, MA, MM, op.cit, hlm 98
[19] Ibid, 99
No comments:
Post a Comment