BAB
7
PRAKTIK
BISNIS YANG DILARANG DAN CONTOHNYA
(M.
Taufiq Abadi MM)
1. Pengertian Bisnis
yang Dilarang
Pada prinsipnya,
setiap pelaku bisnis syariah diberi kebebasan untuk mengembangkan
kreativitasnya. Pintu ijtihad sangat terbuka lebar. Hal ini sesuai dengan
kaidah fiqih yang menyatakan bahwa menurut ketentuan asal, sesuatu itu dibolehkan,
selagi belum ada dalil yang mengharamkan. (Imam Suyuti, al-Asybah wa
an-Nazhair, 1/33). Kemudian bisnis yang penuh berkah adalah bisnis yang di
dalamnya memperhatikan aturan Islam. Inilah bisnis yang akan mendatangkan
barokah dan kemudahan rizki dari Allah SWT. Sebaliknya bisnis yang dilarang
hanya akan mendatangkan bencana demi bencana. Sebelum
kita mengetahui apa pengertian bisnis yang dilarang sebaiknya kita mengetahui
apa pengertian dari bisnis itu sendiri.
Kata bisnis dalam
Al-Qur’an biasanya yang digunakan al-tijarah, al-bai’, tadayantum,
dan isytara. Tetapi yang seringkali digunakan yaitu al-tijarah dan
dalam bahasa arabtijaraha, berawal dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran
wa tijarata, yang bermakna berdagang atau berniaga. At-tijaratun walmutjar yaitu
perdagangan, perniagaan (menurut kamus al-munawwir).
Menurut ar-Raghib
al-Asfahani dalam al-mufradat fi gharib al-Qur’an , at-Tijarah
bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan.
Menurut Ibnu Farabi,
yang dikutip ar-Raghib , fulanun tajirun bi kadza, berarti
seseorang yang mahir dan cakap yang mengetahui arah dan tujuan yang diupayakan
dalam usahanya.
Dalam penggunaannya
kata tijarah pada ayat-ayat di atas terdapat dua macam
pemahaman. Pertama, dipahami dengan perdagangan yaitu pada surat
Al-Baqarah ; 282. Kedua, dipahami dengan perniagaan dalam pengertian
umum.
Dari penjelasan
diatas, terlihat bahwa term bisnis dalam Al-Qur’an dari tijarah pada
hakikatnya tidak semata-mata bersifat material dan hanya bertujuan mencari
keuntungan material semata, tetapi bersifat material sekaligus immaterial,
bahkan lebih meliputi dan mengutamakan hal yang bersifat immaterial dan
kualitas.
Aktivitas bisnis tidak
hanya dilakukan semata manusia tetapi juga dilakukan antara manusia dengan
Allah swt, bahwa bisnis harus dilakukan dengan ketelitian dan kecermatan dalam
proses administrasi dan perjanjian-perjanjian dan bisnis tidak boleh dilakukan
dengan cara penipuan, dan kebohongan hanya demi memperoleh keuntungan.
Dalam hal ini, ada dua
definisi tentang pengertian perdagangan, dari dua sudut pandang yang berbeda,
yaitu menurut mufassir dan ilmu fikih:
1. Menurut Mufassir, Bisnis adalah pengelolaan modal untuk
mendapatkan keuntungan.
2. Menurut Tinjauan Ahli Fikih, Bisnis adalah saling menukarkan harta dengan
harta secara suka sama suka, atau pemindahan hak milik dengan adanya
penggantian.
3. Menurut cara yang diperbolehkan penjelasan dari pengertian diatas :
a. Perdagangan adalah suatu bagian muamalat yang berbentuk transaksi antara
seorang dengan orang lain.
b. Transaksi perdagangan itu dilaksanakan dalam bentuk jual beli yang
diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul.
Dengan demikian, bisnis
dalam islam memposisikan pengertian bisnis yang pada hakikatnya merupakan usaha
manusia untuk mencari keridhaan Allah swt. Bisnis tidak bertujuan jangka
pendek, individual dan semata-mata keuntungan yang berdasarkan kalkulasi
matematika, tetapi bertujuan jangka pendek sekaligus jangka panjang, yaitu
tanggung jawab pribadi dan sosial dihadap masyarakat, Negara dan Allah
swt.
Dan dapat di ketahui
pula pengertian bisnis yang dilarang yaitu suatu usaha manusia yang menyimpang
dari ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan pada Al-Qur’an dan Hadits dan
biasanya usaha itu semata-mata hanya untuk mencari keuntungan saja, tidak untuk
mencari keridhaan Allah swt. maka itu bisnis itu dikatakan bisnis yang dilarang
(diharamkan)
2. Aktivitas
Bisnis yang Dilarang dalam Syariah
1. Menghindari
transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim harus komitmen
dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang
pengusaha muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yang diharamkan
oleh syariah. Dan seorang pengusaha muslim dituntut untuk selalu melakukan
usaha yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak halal atau
mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau semua yang
berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night club, discotic, café, tempat
bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang menghentak, suguhan
minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-A’raf;32. QS: Al
Maidah;100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan.
2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba yang menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS: Al Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan bisnis yang tidak transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar kemungkinan akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk dinikmati oleh orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi adalah perbuatan tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34–35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk tujuan yang tidak bermanfaat dan berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua sifat tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam penggunaan harta dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al a’raf;31).
3. Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian kamu dengan cara yang batil”. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair, Rasulullah mencela perbuatan tersebut : ”Barangsiapa yang melakukan monopoli maka dia telah bersalah”, ”Seorang tengkulak itu diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang yang melakukan monopoli itu dilaknat”. Monopoli dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar. Rasulullah bersabda: ”Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu untuk memahalkan harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat dari api neraka kelak di hari kiamat”.
4. Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan. Allah berfirman dalam QS:Al-Isra;35: ”Dan sempurnakanlah takaran ketika kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda ”Apabila kamu menjual maka jangan menipu orang dengan kata-kata manis”. Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang dilakukan sebagian pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukan oleh penjual seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak mengkonsumsinya.
b. Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor, atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu.
c. Eksploitasi wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk mereka dan menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan pembelian terhadap produk mereka.
Model promosi tersebut dapat kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam sebagai agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak dapat dipisahkan dengan bagian yang lain. Demikian pula pada proses jual beli harus dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkan derajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syari’ah Islam secara menyeluruh, termasuk ’etika jual beli’.
2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba yang menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS: Al Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan bisnis yang tidak transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar kemungkinan akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk dinikmati oleh orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi adalah perbuatan tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34–35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk tujuan yang tidak bermanfaat dan berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua sifat tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam penggunaan harta dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al a’raf;31).
3. Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian kamu dengan cara yang batil”. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair, Rasulullah mencela perbuatan tersebut : ”Barangsiapa yang melakukan monopoli maka dia telah bersalah”, ”Seorang tengkulak itu diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang yang melakukan monopoli itu dilaknat”. Monopoli dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar. Rasulullah bersabda: ”Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu untuk memahalkan harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat dari api neraka kelak di hari kiamat”.
4. Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan. Allah berfirman dalam QS:Al-Isra;35: ”Dan sempurnakanlah takaran ketika kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda ”Apabila kamu menjual maka jangan menipu orang dengan kata-kata manis”. Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang dilakukan sebagian pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukan oleh penjual seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak mengkonsumsinya.
b. Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor, atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu.
c. Eksploitasi wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk mereka dan menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan pembelian terhadap produk mereka.
Model promosi tersebut dapat kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam sebagai agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak dapat dipisahkan dengan bagian yang lain. Demikian pula pada proses jual beli harus dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkan derajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syari’ah Islam secara menyeluruh, termasuk ’etika jual beli’.
4. cara
bisnis yang dilarang dalam islam
Transaksi-transaksi
yang dilarang untuk dilakukan dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh
kedua faktor berikut :
I. HARAM ZATNYA
(OBJEK TRANSAKSINYA)
Suatu
transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan
merupakan objek yang dilarang (haram) dalam hukum agama Islam. Seperti
memperjualbeli kan alkohol, narkoba, organ manusia, dll.
II. HARAM SELAIN
ZATNYA (CARA BERTRANSAKSI-NYA),TERBAGI ATAS 13 JENIS ( WALLAHUALAM )
1.
MAYSIR
§ Semua
bentuk perpidahan harta ataupun barang dari satu pihak kepada pihak lain tanpa
melalui jalur akad yang telah digariskan Syariah, namun perpindahan itu terjadi
melalui permainan, seperti taruhan uang pada permainan kartu, pertandingan
sepak bola, pacuan kuda, pacuan greyhound dan seumpamanya. Mengapa dilarang?
Karena (1) permainan bukan cara untuk mendapatkan harta/keuntungan (2)
menghilangkan keredhaan dan menimbulkan kebencian/dendam (3) tidak sesuai
dengan fitrah insani yang berakal dan disuruh bekerja untuk dunia dan akhirat.
§ Menurut
bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa
harus bekerja keras. Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian
seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian,
seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi.
Judi dilarang
dalam praktik keuangan Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah
sebagai berikut:
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya’…” (QS. Al Baqarah
: 219)
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS Al-Maaidah : 90)
Pelarangan maisir oleh Allah SWT
dikarenakan efek negative maisir. Ketika melakukan perjudian seseorang dihadapkan kondisi
dapat untung maupun rugi secara abnormal. Suatu saat ketika seseorang beruntung
ia mendapatkan keuntungan yang lebih besar ketimbang usaha yang dilakukannya.
Sedangkan ketika tidak beruntung seseorang dapat mengalami kerugian yang sangat
besar. Perjudian tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga
diharamkan dalam sistem keuangan Islam.
2.
GHARAR/TAGHRIR
§ Sesuatu
yang tidak jelas dan tidak dapat dijamin atau dipastikan kewujudannya secara
matematis dan rasional baik itu menyangkut barang (goods), harga (price)
ataupun waktu pembayaran uang/penyerahan barang (time of delivery). Taghrir
dalam bahasa Arab gharar, yang berarti : akibat, bencana, bahaya, resiko, dan
ketidakpastian. Dalam istilah fiqh muamalah, taghrir berarti melakukan sesuatu
secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil resiko
sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan
persis akibatnya, atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.
Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang tidak tahu apa yang
tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli. Taghrir dan tadlis
terjadi karena adanya incomplete information yang terjadi pada salah satu pihak
baik pembeli atau penjual. Karena itu, kasus taghrir terjadi bila ada unsure
ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to both parties).
§ Menurut
mahzab Imam Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi wa Umairah: Al-ghararu manthawwats
`annaa `aaqibatuhu awmaataroddada baina amroini aghlabuhuma wa akhwafuhumaa.
Artinya: “gharar itu adalah apa-apa yang akibatnya
tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul
adalah yang paling kita takuti”.
Wahbah
al-Zuhaili memberi pengertian tentang gharar sebagai al-khatar dan altaghrir, yang artinya
penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya
menyenangkan tetapi hakekatnya menimbulkan kebencian, oleh karena itu
dikatakan: al-dunya mata`ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang
menipu. Dengan demikian menurut bahasa, arti gharar adalah al-khida`
(penipuan), suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur
kerelaan. Gharar dari segi fiqih
berarti penipuan dan tidak mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak
dapat diserahkan. Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak saling tidak
mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah minggu
depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat
berasaskan andaian (ihtimal) semata. Inilah yang disebut gharar (ketidak
jelasan) yang dilarang dalam Islam, kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat
menekankan hal ini, agar kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi.
Karena itu Islam mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang tanpanya
jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat tersebut adalah:
1. Timbangan
yang jelas (diketahui dengan jelas berat jenis yang ditimbang)
2. Barang
dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh harga yang majhul (tidak
diketahui ketika beli).
3. Mempunyai
tempo tangguh yang dimaklumi
4. Ridha
kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.
Imam an-Nawawi
menyatakan, larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai perananan yang
begitu hebat dalam menjamin keadilan, jika kedua belah pihak saling meridhai,
kontrak tadi secara dztnya tetap termasuk dalam kategori bay’ al-gharar yang diharamkkan.
Secara
umum, bentuk Gharar dapat dibagi menjadi 4 :
2.1.
GHARAR DALAM KUANTITAS
Misalnya
seorang petani tembakau sudah membuat kesepakatan jual beli dengan pabrik rokok
atas tembakau yang bahkan belum panen. Pada kasus ini, pada kedua belah pihak
baik petani tembakau maupun pabrik rokok mengalami ketidakpastian mengenai
berapa pastinya jumlah tembakau yang akan panen. Sehingga terdapat gharar atas
barang yang ditransaksikan.
2.2.
GHARAR DALAM KUALITAS
Misalnya
seorang pembeli sudah membuat kesepakatan untuk membeli anak kambing yang masih
berada di dalam kandungan. Pada kasus ini, baik penjual maupun pembeli tidak
mengetahui dengan pasti apakah nantinya anak kambing ini akan lahir dengan
sehat, cacat, atau bahkan mati. Sehingga terdapat ketidakpastian akan barang
yang diperjualbelikan.
2.3.
GHARAR DALAM HARGA
Misalnya Tn. A
menjual motornya kepada Tn. B dengan harga Rp 8.000.000 jika dibayar lunas dan
Rp 10.000.000 jika dicicil selama 10 bulan. Pada kasus ini, tidak ada kejelasan
mengenai harga mana yang dipakai. Bagaimana jika Tn. B dapat melunasi motornya
dalam waktu kurang dari 10 bulan? Harga mana yang akan dipakai? Hal inilah yang
menjadi suatu ketidakpastian dalam transaksi.
2.4.
GHARAR MENYANGKUT WAKTU PENYERAHAN
Misalnya Basti
sudah lama menginginkan handphone milik Miro. Handphone tersebut bernilai Rp
4.000.000 di pasaran. Suatu saat, handphone tersebut hilang. Miro menawarkan
Basti untuk membeli handphone tersebut seharga Rp 1.500.000 dan barang akan
segera diserahkan begitu ditemukan. Dalam kasus ini, tidak ada kepastian
mengenai kapan handphone tersebut akan ditemukan, dan bahkan mungkin tidak akan
ditemukan. Hal ini menimbulkan gharar dalam waktu penyerahan barang transaksi.
3.
RIBA
Al-Quran dan
Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya;
dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ
مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat),
“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [TQS Al Baqarah (2): 275]
Di dalam
Sunnah, Nabiyullah Mohammad saw
دِرْهَمُ رِبَا
يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu
dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba),
maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
Riba secara
bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik
riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada
beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan
dengan prinsip muamalat dalam Islam, yaitu: 1. Al-Qur’an “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS. Ali Imran:130). “Hai
orang-orang yang beriman,bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”. (QS. Al Baqarah:
278-279) 2. Hadits • Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda:
“Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan)
dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah). • Jabir berkata bahwa
Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan
orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian Beliau bersabda,
“Mereka itu semuanya sama”. (HR.Muslim).
3.1
JENIS – JENIS RIBA
Secara
garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Riba hutang-piutang dan riba
jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba
jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba
fadhl dan riba nasi’ah. Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu
Hajar al Haitsami: “Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis, yaitu riba fadl,
riba al yaad, dan riba an nasiah. Al mutawally menambahkan jenis keempat yaitu
riba al qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara
ijma’ berdasarkan nash al Qur’an dan hadits Nabi. l. Riba Qardh Suatu manfaat
atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang
(muqtaridh). 2. Riba Jahiliyyah Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. 3.Riba
Fadhl Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
4.Riba Nasi’ah Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat
ini dengan yang diserahkan kemudian.
3.2
JENIS BARANG RIBAWI
Para ahli
fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang
lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan
kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi
Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya. Bahan
makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan
seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
4.
BAI’ AL MUDTARR
Adalah jual
beli dan pertukaran dimana salah satu pihak dalam keadaan sangat memerlukan (in
the state of emergency) sehingga sangat mungkin terjadi eksploitasi oleh pihak
yang kuat sehingga terjadi transaksi yang hanya menguntungkan sebelah pihak dan
merugikan pihak lainnya.
5.
IKRAH
Segala bentuk
tekanan dan pemaksaan dari salah satu pihak untuk melakukan suatu akad tertentu
sehingga menghapus komponen mutual free consent. Jenis pemaksaan dapat berupa
acaman fisik atau memanfaatkan keadaan seseorang yang sedang butuh atau the
state of emergency. Imam Ibnu Taimiyah ra mengatakan bahwa dalam keadaan darurat
(state of emergency) seseorang yang memilik stock barang yang dibutuhkan orang
banyak harus diperintahkan untuk menjualnya dengan harga pasar, jika dia enggan
melakukannya pihak berkuasa dapat memaksanya untuk melakukan hal tersebut demi
menyelamatkan nyawa orang banyak. (Majmu al Fatawa, vol. 29 hal.300).
6.
GHABN
Adalah dimana
si penjual memberikan tawaran harga diatas rata-rata harga pasar (market price)
tanpa disadari oleh pihak pembeli.
Ghabn ada dua
jenis yakni: Ghabn Qalil (Negligible) dan Ghabn Fahish (Excessive).
Ghabn Qalil:
adalah jenis perbedaan harga barang yang tidak terlalu jauh antara harga pasar
dan harga penawaran dan masih dalam kategori yang dapat dimaklumi oleh pihak
pembeli.
Ghabn Fahish
adalah perbedaan harga penawaran dan harga pasar yang cukup jauh bedanya.
7. BAI’ NAJASH.
§ Dimana
sekelompok orang bersepakat dan bertindak secara berpura-pura menawar barang
dipasar dengan tujuan untuk menjebak orang lain agar ikut dalam proses tawar
menawar tersebut sehingga orang ketiga ini akhirnya membeli barang dengan harga
yang jauh lebih mahal dari harga sebenarnya. Larangan Rasul saw: “..Janganlah
kamu meminang seorang gadis yang telah dipinang saudaramu, dan jangan menawar
barang yang sedang dalam penawaran saudaramu; dan janganlah kamu bertindak berpura-pura
menawar untuk menaikkan harga..”
§ Adalah
sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan
demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap
suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Cara yang bisa ditempuh
bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order pembelian, dan
sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan melakukan aksi
ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga akan
mendapatkan keuntungan yang besar. Sebagai contoh : ini sangat rentan terjadi
ketika pelelangan suatu barang. Biasanya yang mengadakan pelelangan bekerja
sama dengan beberapa peserta pelelangan dimana mereka bertugas untuk
berpura-pura melakukan penawaran terhadap barang yang dilelang, dengan kata
lain untuk menaikkan harga barang yang dilelang tersebut.
8.
IHTIKAR
§ Adalah
menumpuk-numpuk barang ataupun jasa yang diperlukan masyarakat dan kemudian si
pelaku mengeluarkannya sedikit-sedikit dengan harga jual yang lebih mahal dari
harga biasanya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan lebih cepat dan
banyak. Para ulama tidak membatasi jenis barang dan jasa yang ditumpuk tersebut
asalkan itu termasuk dalam kebutuhan essential, maka Ihtikar adalah dilarang.
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang menimbun (barang & jasa
kebutuhan pokok) maka telah melakukan suatu kesalahan.”
§ Ikhtikar
adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk
yang dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry
barrier (hambatan masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke
pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan
adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi
kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen
tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang
berlimpah. Sebagai contoh: ketika akan dirumorkan oleh pemerintah bahwa tarif
bbm akan dinaikan, maka marak terjadinya penimbunan bbm oleh para penjual
nakal. Hal ini mereka lakukan agar dapat menjual bbm dengan tarif yang sudah
dinaikkan, sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
9.GHISH
Menyembunyikan
fakta-fakta yang seharusnya diketahui oleh pihak yang terkait dalam akad
sehingga mereka dapat melakukan kehati-hatian (prudent) dalam melindungi
kepentingannya sebelum terjadi transaksi yang mengikat. Dalam Common Law akad
seperti ini dikenal dengan sebutan Akad Uberrime Fidae Contract dimana semua
jenis informasi yang seharusnya diketahui oleh pelanggan sama sekali tidak
boleh disembunyikan. Jika ada salah satu informasi berkenaan dengan subject
matter akad tidak disampaikan, maka pihak pembeli dapat memilih opsi
membatalkan transaksi tersebut.
10. TADLIS
§ Adalah
tindakan seorang peniaga yang sengaja mencampur barang yang berkualitas baik
dengan barang yang sama berkualitas buruk demi untuk memberatkan timbangan dan
mendapat keuntungan lebih banyak Tindakan “oplos” yang hari ini banyak
dilakukan termasuk kedalam kategori tindakan tadlis ini. Rasullah saw sering
melakukan ‘inspeksi mendadak’ ke pasar-pasar untuk memastikan kejujuran para
pelaku pasar dan menghindari konsumen dari kerugian.
§ Yaitu
sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk
menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan
maksud untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan akan informasi objek
yang diperjualbelikan.
Hal ini bisa penipuan berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga
(price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang
ditransaksikan.
Sebagai contoh
: apabila kita menjual hp second dengan kondisi baterai yang sudah sangat
lemah, ketika kita menjual hp tersebut tanpa memberitahukan (menutupi) kepada
pihak pembeli, maka transaksi yang kita lakukan menjadi haram hukumnya.
11.TALAQQIL JALAB ATAU TALAQQI
RUKBAN
Yang dimaksud
dengan jalab adalah barang yang diimpor dari tempat lain. Sedangkan rukban yang
dimaksud adalah pedagang dengan menaiki tunggangan.
Adapun yang
dimaksud talaqqil jalab atau talaqqi
rukban adalah sebagian pedagang menyongsong kedatangan barang
dari tempat lain dari orang yang ingin berjualan di negerinya, lalu ia
menawarkan harga yang lebih rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga
barang para pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka
mengetahui harga sebenarnya.
Jual beli
seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama) karena adanya pengelabuan.
Dari Abu
Hurairah, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُتَلَقَّى الْجَلَبُ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari talaqqil jalab” (HR. Muslim
no. 1519).
Dari ‘Abdullah
bin ‘Umar, ia berkata,
كُنَّا نَتَلَقَّى
الرُّكْبَانَ فَنَشْتَرِى مِنْهُمُ الطَّعَامَ ، فَنَهَانَا النَّبِىُّ – صلى الله
عليه وسلم – أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى يُبْلَغَ بِهِ سُوقُ الطَّعَامِ
“Dulu kami
pernah menyambut para pedagang dari luar, lalu kami membeli makanan milik
mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melarang kami untuk melakukan
jual beli semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar makanan dan
berjualan di sana” (HR. Bukhari no. 2166).
Jika orang
luar yang diberi barangnya sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya ia
menderita kerugian besar karena harga yang ditawarkan jauh dengan harga normal
jika ia berjualan di pasar itu sendiri, maka ia punya hak khiyar untuk
membatalkan jual beli (Lihat Syarh ‘Umdatul Fiqh, 2: 805). Dalam hadits Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَلَقَّوُا
الْجَلَبَ.فَمَنْ تَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ
فَهُوَ بِالْخِيَارِ
“Janganlah
menyambut para pedagang luar. Barangsiapa yang menyambutnya lalu membeli barang
darinya lantas pedagang luar tersebut masuk pasar (dan tahu ia tertipu dengan
penawaran harga yang terlalu rendah), maka ia punya hak khiyar (pilihan untuk
membatalkan jual beli)” (HR. Muslim no. 1519).
Jika jual beli
semacam ini tidak mengandung dhoror (bahaya) atau tidak ada tindak penipuan
atau pengelabuan, maka jual beli tersebut sah-sah saja. Karena hukum itu
berkisar antara ada atau tidak adanya ‘illah (sebab pelarangan).
12. JUAL BELI HADIR LIL BAAD, MENJADI CALO UNTUK ORANG DESA (PEDALAMAN)
Yang dimaksud bai’ hadir lil baad adalah orang kota yang menjadi calo untuk orang pedalaman
atau bisa jadi bagi sesama orang kota. Calo ini mengatakan, “Engkau tidak perlu
menjual barang-barangmu sendiri. Biarkan saya saja yang jualkan
barang-barangmu, nanti engkau akan mendapatkan harga yang lebih tinggi”.
Dari Ibnu
‘Abbas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ
تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ وَلاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ » . قَالَ فَقُلْتُ
لاِبْنِ عَبَّاسٍ مَا قَوْلُهُ لاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ لاَ يَكُونُ
لَهُ سِمْسَارًا
“Janganlah
menyambut para pedagang dari luar (talaqqi rukban) dan jangan pula menjadi calo
untuk menjualkan barang orang desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu
‘Abbas, “Apa maksudnya dengan larangan jual beli hadir li baad?” Ia berkata, “Yaitu
ia tidak boleh menjadi calo”. (HR. Bukhari nol. 2158).
Menurut
jumhur, jual beli ini haram, namun tetap sah (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah,
9: 84).
Namun ada
beberapa syarat yang ditetapkan oleh para ulama yang menyebabkan jual beli ini
menjadi terlarang, yaitu:
1. Barang
yang ia tawarkan untuk dijual adalah barang yang umumnya dibutuhkan oleh orang
banyak, baik berupa makanan atau yang lainnya. Jika barang yang dijual jarang
dibutuhkan, maka tidak termasuk dalam larangan.
2. Jual
beli yang dimaksud adalah untuk harga saat itu. Sedangkan jika harganya dibayar
secara diangsur, maka tidaklah masalah.
3. Orang
desa tidak mengetahui harga barang yang dijual ketika sampai di kota. Jika ia
tahu, maka tidaklah masalah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 83)
13. RISYWAH (SUAP)
Risywah
menurut bahasa berarti: “pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau
lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau
untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.” (al-Misbah
al-Munir/al Fayumi, al-Muhalla/Ibnu Hazm). Atau “pemberian yang diberikan
kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu” (lisanul Arab, dan
mu’jam wasith).
Sedangkan
menurut istilah risywah berarti: “pemberian yang bertujuan membatalkan yang
benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.” (At-Ta’rifat/aljurjani
148).
Dari definisi
di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi
(penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama diharamkan
dalam Islam menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan tersebut
dikategorikan dalam kelompok dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan
beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut ini:
1. Firman
Allah ta’ala:
وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
”Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah 188)
1. Firman
Allah ta’ala:
سَمَّاعُونَ
لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
”Mereka
itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang
haram” (QS Al Maidah 42).
Imam al-Hasan
dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan risywah.
Jadi risywah (suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah
SWT
1. Rasulullah
SAW bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Rasulullah
melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh
at-Tirmidzi).
1. Nabi
Muhammad SAW bersabda:
«كلّ لحم نبت
بالسّحت فالنار أولى به» قالوا : يا رسول الله وما السحت؟ قال : «الرشوة في الحكم»
“Setiap
daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak
untuknya.” Mereka bertanya: “Ya
Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?”, “Suap dalam
perkara hukum” (Al-Qurthubi 1/
1708)
Ayat dan
hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap,
menyuap dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang
disuap
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman, Bank Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 2010, Edisi Keempat
http://karangtangis.blogspot.com/2011/02/aktivitas-bisnis-yang-dilarang-dalam.html
http://yopi-nasir.blogspot.com/2011/12/praktek-bisnis-yang-dilarang.html
http://hery-sasono.blogspot.com/2011/08/praktek-bisnis-yang-diperbolehkan
No comments:
Post a Comment