BAB 11
INTERVENSI NEGARA TERHADAP
AKTIVITAS BISNIS
1. Tanggung Jawab Negara Terhadap Bisnis
Peran Pemerintah Dalam
Pengembangan Ekonomi Rakyat[1]
Pemerintah memegang peranan
penting di dalam ekonomi Islam, karena kemajuan suatu negara dapat dilihat dari
kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Beberapa peran yang harus dimiliki oleh
pemerintah terkait dengan pengembagan ekonomi kerakyatan, diantaranya adalah
sebagai berikut
Fungsi Negara
Secara
garis besar fungsi Negara yang diungkapkan oleh Yusuf Qordhowi terbagi menjadi
dua yaitu:
1. Negara
berfungsi menjamin segala kebutuhan minimum rakyat. Fungsi pertama ini bermakna
bahwa Negara harus menyediakan atau menjaga tingkat kecukupan kebutuhan minimum
dari masyarakat.
2. Negara
berfungsi mendidik dan membina masyarakat. Dalam fungsi ini yang menjadi ruang
lingkup kerja Negara adalah menyediakan fasilitas infrastuktur, regulasi,
institusi sumber daya manusia, pengetahuan sekaligus kualitasnya. Sehingga
keilmuan yang luas dan mendalam serta menyeluruh (syamil mutakalimin) tersebut
berkorelasi positif pada pelestarian dan peningkatan keimanan yang telah
dimunculkan oleh poin pertama dari fungsi Negara ini.
Tanggung Jawab Pemerintah
Menyejahterakan Rakyat
Islam menentukan fungsi pokok
negara dan pemerintah dalam bidang ekonomi, yaitu menghapuskan kesulitan
ekonomi yang dialami rakyat, memberi kemudahan pada akses pengembangan ekonomi
kepada seluruh lapisan rakyat dan menciptakan kemakmuran. Al-Qur’an
memaklumatkan visi negara dalam bidang ekonomi ini :
”Sesungguhnya
kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan
sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas
matahari di dalamnya." (Thaha: 118-119)
Dalam kaitan ini, Imam Al-Ghazali menguraikan
tanggungjawab sosial ekonomi negara :
”Tanggungjawab
penguasa adalah membantu rakyat ketika mereka mengahadapi kelangkaan pangan,
kelaparan dan penderitaan, khususnya ketika terjadi kekeringan atau ketika
harga tinggi sampai rakyat mendapat penghasilan kembali, karena dalam keadaan
tersebut sulit bagi mereka memenuhi dua tujuan tersebut. Dalam
kondisi tersebut negara harus memberi makanan kepada rakyat dan memberikan
bantuan keuangan kepada mereka dari kekayaan negara supaya mereka dapat
meningkatkan pendapatan mereka”.
Al-Mawardi dalam
kitabnya al-ahkam al-sulthaniyah menyebut beberapa tanggungjawab
pemerintah dalam bidang ekonomi :
a. terciptanya
lingkungan yang kondusif bagi kegiatan ekonomi.
b. pemungutan
pendapatan dari sumber-sumber yang tersedia dan menaikkan pendapatan
dengan menetapkan pajak baru bila situasi menuntut demikian.
c. penggunaan
keuangan negara untuk tujuan-tujuan ya ng menjadi kewajiban negara.
Prinsip-Prinsip Islam Untuk
Kebijakan Ekonomi Publik
Dengan menganalisis sumber utama
al-Qur’an dan al-hadis dengan ditambah studi pustaka, pada bagian ini penulis memberanikan
diri sebagai intelectual excercise menyusun prinsip-prinsip Islam untuk
kebijakan publik:
a. Prinsip
Hakikat Kepemilikan pada Allah swt.
Bahwa
alam semesta beserta isinya termasuk manusia didalamnya adalah makhluk
(ciptaan) Allah SWT.
Oleh
karenanya hakikat kepemilikan bukan pada manusia akan tetapi milik Allah swt,
sedangkan manusia adalah pihak yang diberi amanah untuk mengelola, memelihara
dan memanfaatkan alam semesta ini untuk kemaslahatan seluruh ummat manusia.
Kepemilikan manusia diakui dalam Islam sebagai bagian hasil dari jerih payah
usahanya secara sah.
b. Prinsip
Sumber Pengambilan Keputusan.
Pengambilan keputusan kebijakan
wajib bersandar pada Kitabullah dan Sunnatu Rasulullah saw. Bila permasalahan memerlukan ketegasan
hukum yang secara langsung berkait dengan masalah tersebut tetapi belum dapat
ditemukan dalam Al-Qur’an maupun as-sunnah maka dipersilakan pada manusia untuk
melakukan ijtihad. Buah ijtihad haruslah tidak bertentangan dengan
syari’ah Allah swt.
c. Prinsip
Musyawarah.
Kebijakan publik haruslah melalui
musyawarah dan mempertimbangkan keseluruhan aspek dan faktor-faktor yang
terkait dengan permasalahan tersebut secara komprehensif dengan segala
akibatnya.
d. Prinsip
Maqashid Syariah.
Kebijakan
publik haruslah mempertimbangkan maqashid syariah.
e. Prinsip
Keadilan dan Kemaslahatan.
Kebijakan
publik harus menjamin keadilan dan kemaslahatan bagi semua.
f. Prinsip Kepemimpinan
dan Kepatuhan
Bila
kebijakan telah diputuskan dengan musyawarah maka wajib bagi pemimpin untuk
mengeksekusi keputusan itu dan wajib pula bagi yang dipimpin untuk menunjukkan
kepatuhan dalam melaksanakan kebijakan itu.
g. Prinsip
Pertanggungjawaban.
Setiap
kebijakan atau tindakan apapun dan sekecil apapun akan diminta
pertanggungjawabannya dihadapan Allah kelak. Dan setiap kewajiban publik harus
pula dipertanggungdakwakan kepada publik karena menyangkut penggunaan kekuasaan
dan wewenang serta penggunaan aset yang diamanahkan kepada pengambil
kebijakan tersebut.
Praktik Penyelenggaraan Kebijakan
Ekonomi Dalam Pemerintahan Islam
Di dalam pemerintahan Islam
dimasa Rasulullah hingga para fukoha, praktik penyelenggaraan kebijakan ekonomi
diatur dengan sedemikian rupa melalui beberapa instrumen kelembagaan yang
terkait seperti penjelasan berikut:
1. Baitul Maal
Baitul
Maal adalah institusi moneter
dan fiskal Islam yang berfungsi menampung, mengelola dan
mendistribusikan kekayaan negara untuk keperluan kemaslahatan ummat. Keberadaan
baitul maal pertamakali adalah sejak setelah turun wahyu yang memerintahkan
Rasulullah untuk membagikan ghanimah dari perang Badr.
”Mereka
menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah:
"Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul[593], oleh sebab itu
bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang
beriman." (al-Anfal:
1)
Ketentuan
Allah tersebut menunjuk Rasulullah sebagai pihak yang berwenang membagikan
ghanimah dan menyimpan sebagiannya, yaitu seperlima bagian untuk diri dan
keluarganya serta anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil :
”Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada
apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di
hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
(al-Anfal:41)
Praktik pengumpulan dan
pendistribusian harta yang dilakukan Rasulullah inilah yang kemudian menjadi
cikal bakal baitul maal. Pada praktiknya, institusi pengumpulan dan
pendistribusian harta dimasa Rasulullah belumlah berupa organisasi yang
kompleks, melainkan Rasulullah dibantu oleh beberapa sahabatnya untuk mencatat
pemasukan dan pengeluarannya. Pada kenyataannya harta baitul maal
dimasa Rasulullah langsung dibagikan kepada yang berhak dan untuk kemaslahatan
ummat bahkan bagian dirinya dan keluarganya sendiripun seringkali dilepaskan
untuk yang lebih membutuhkan dan untuk kepentingan ummat. Salah seorang
sekretaris Nabi, Handhalah bin Syafiy meriwayatkan Rasulullah
bersabda :
”Tetapkanlah
dan ingatkanlah aku (laporkanlah kepadaku) atas segala
sesuatunya. Hal ini beliau ucapkan tiga kali. Handhalah berkata
: ”suatu saat pernah tidak ada harta atau makanan apapun padaku (di baitul
maal) selama tiga hari, lalu aku laporkan pada Rasulullah (keadaan
tersebut). Rasulullah sendiri tidak tidur dan di sisi beliau tidak
ada apapun”.
Pada tahun pertama kekhalifahan
Abu Bakar, keadaan seperti itu berlangsung sama. Jika datang harta dari
berbagai daerah taklukan langsung dibawa ke Masjid Nabawi dan langsung
dibagikan. Tetapi pada tahun kedua, pemasukan harta jauh lebih besar
sehingga Abu Bakar pun menjadikan sebagian ruang dirumahnya sebagai pusat
penampungan dan pendistribusian harta itu untuk kemaslahatan kaum muslimin.
Di era kekhalifahan Umar bin
Khathab, perluasan kekuasaan wilayah Islam berkembang pesat. Persia dan Romawi
berhasil ditaklukan, maka semakin besar volume pundi-pundi kekayaan yang
mengalir ke Madinah. Khalifah Umar pun memerintahkan untuk membangun
tempat khusus sebagai tempat penampungan harta itu sekaligus ia menyusun
struktur organisasi untuk mengurus aktivitas baitul maal tersebut.
Institusi Bentukan Pemerintah
Islam Di Masa Awal
Secara umum fungsi baitul maal
adalah membantu negara untuk memungut dan menampung harta yang menjadi hak
masyarakat muslim dari berbagai sumber mata pendapatan negara dan
mendistribusikan kembali kepada masyarakat. Tujuannya, adalah jangan
sampai kekayaan hanya berputar di segelintir orang kaya saja tetapi terdistribusi
secara adil kepada seluruh lapisan masyarakat dan untuk dibelanjakan untuk
kemaslahatan ummat.
Fungsi dan tujuan itu terlihat
nyata dari bentuk struktur organisasi baitul maal dimasa Khlifah Umar bin
Kathab. Umar membentuk :
a. Departemen
Pelayanan Militer.
Fungsi utama departemen ini,
adalah medanai aktivitas dan kebutuhan pasukan termasuk untuk pembayaran gaji,
pensiun dan jaminan masa depan keluarganya.
b. Departemen
Kehakiman dan Eksekutif.
Tugas departem pokok departemen
ini, adalah membiayai aktivitas pelayanan hukum dan publik termasuk membayar
gaji para hakim dan pejabat negara sesuai dengan kecukupan yang wajar agar
mereka tidak melakukan praktik korupsi atau menerima suap.
c. Departemen
Pendidikan dan Pelayanan Islam
Departemen bertugas
mendistribusikan pembiayaan untuk kebutuhan pencerdasan ummat dan aktivitas
dakwah termasuk pembayaran gaji guru dan juru dakwah serta keluarganya.
d. Departemen
Jaminan Sosial.
Jaminan hidup bagi anak-anak
yati, kaum fakir dan miskin, janda-jand tua dan orang jompo, orang cacat,
pembiayaan pernikahan, persalinan dan jaminan kebutuhan hidup keluarga yang
tidak mampu dan untuk kemaslahatan ummat lainnya adalah menjadi tugas utama
departemen jaminan sosial ini.
Pada masa umar pula struktur
organisasi ini berkembang seiring dengan perkembangan permasalahan yang
terjadi, seperti pembentukan cabang-cabang baitul maal di wilayah-wilayah
taklukan, pembentukan sistim diwan, membentuk tim sensus penduduk (nassab)
untuk menentukan indeks kebutuhan dan jaminan sosial bagi masyarakat.
Kebijakan Pemerintahan Islam
Dalam Menetapkan Anggaran Pendapatan Negara[2]
Dari
sumber-sumber mana pembiayaan sektor publik dalam konsep Islam, akan dijawab
dalam bab ini. Bila ditarik kesimpulan umum dari yang akan didapat dari uraian
pada bagian ini, adalah begitu variatifnya sumber-sumber pendanaan yang
dimiliki negara Islam untuk menyelenggarakan operasional negara.
a. Zakat,
dalam konteks ekonomi modern merupakan :
· Instrumen
distribusi pemerataan pemenuhan kebutuhan primer. Dengan demikian,
permintaan konsumsi meningkat yang berdampak mendorong tingkat penawaran
(produksi). .
· Investasi
dan Penyerapan Tenaga Kerja
Stimulan zakat membawa multiplier
effect, yaitu bergairahnya iklim investasi. Korelasi lain zakat
dan investasi adalah, bila kekayaan tidak digerakkan dalam perekonomian maka
kekayaan itu akan tergerus nilainya oleh kewajiban zakat. Oleh
karenanya zakat dalam Islam merupakan faktor yeng mendorong kaum muslim untuk
melakukan investasi.”Perdagangkanlah harta anak yatim sehingga tidak dimakan
zakat” (HR Ibnu Qudamah). Peningkatan investasi akan menyerap tenaga
kerja, mengurangi pengangguran yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan
masyarakat.
· Pertumbuhan
ekonomi
Instrumen zakat mendorong
pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok yang selanjutnya meningkatkan permintaan
konsumsi. Produsen akan meningkatkan produksinya untuk merespon
permintaan konsumsi tersebut dengan mengembangkan
investasinya. Bergairahnya iklim investasi akan menyerap tenaga
kerja yang berarti juga semakin mengurangi angka pengangguran sampai dengan
batas pengangguran alamiahnya. Pendapatan perkapita ikut meningkat. Roda
ekonomi masyarakat berputar semakin laju melalui sektor riil. Secara teoritik
dan empirik, ceteris paribus, zakat mendorong pertumbuhan
ekonomi dengan peningkatan pertumbuhan secara stabil.
· Keadilan
sosial
Multiplier
effect zakat tidak berhenti pada
bidang ekonomi tetapi juga berdampak positif pada pembentukan kondisi
sosial-politik. Dengan instrumen zakat, masyarakat menjadi satu
kesatuan dimana semakin mengecil dan tidak mustahil akan melenyapkan social
gap antara kaum yang memiliki akses ekonomi yang lebih luas (aghniya) dan
masyarakat ekonomi lemah (mushtadhafin), karena kekayaan tidak lagi
berputar diantara yang kaya saja tetapi terdistribusi secara adil dan akses
untuk mengembangkan kekayaan bagi masyarakat terbuka luas. ”....supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (al-Hasyr:
7).
Sumber-sumber zakat, adalah :
· Emas
dan Perak
· Hewan
Ternak
· Perdagangan
· Hasil
Pertanian (Tanaman dan Buah-buahan)
· Zakat Temuan dan Tambang
· Pengembangan
Sumber-sumber Zakat di Zaman Modern, seperti profesi yang tidak memperdagangkan
suatu barang tertentu tetapi ia mendapatkan kekayaan dari keahliannya dalam
bidang tertentu (konsultan, manajer, dokter, akuntan dsbnya), komoditi
perdagangan pertanian dan peternakan yang kitab fiqih tidak memasukannya
sebagai obyek zakat tetapi dizaman modern ini memiliki nilai tinggi, seperti
tanaman anggrek atau tanaman hiasa lainnya, peternakan ikan baik untuk
dikonsumsi maupun diperjualbelikan sebagai hiasan, serta komoditi-komoditi
perhiasan lainnya seperti bebatuan alam dan sebagainya. Begitu
pula badan hukum yang mendapatkan keuntungan dari kegiatan bisnisnya
dapat dikenakan pajak.
Wakaf
Anfal (Ghanimah)
Fa’i
Khumus
Kharaj (Pajak Bumi)
Jizyah (Pajak Stabilitas
Keamanan)
Nawaib/Daraib
’Usyur (Bea Dan Cukai)
Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan
Aset Negara
Harta Sitaan
Setiap harta yang diperoleh
dengan cara yang melanggar syari’ah akan disita oleh negara dan dimasukkan
dalam baitul maal. Yang termasuk dalam harta sitaan adalah :
1). Harta
Ghulul, yaitu harta yang didapat dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para
pejabat negara, seperti : dari suap, hadiah atau hibbah kepada pejabat negara,
harta yang diperoleh dari memeras dengan kekuasaan, komisi yang diberikan
pejabat karena meluluskan sesuatu dan korupsi.
2). Harta
yang diperoleh dengan cara haram, seperti didapat dari usaha yang menggunakan
riba dan berjudi . Harta riba wajib dikembalikan kepada
pemiliknya, bila diketahui pemiliknya akan tetapi bila tidak diketahui harta
tersebut dimasukkan kedalam baitul maal. Riba diharamkan oleh al-Qur’an (lihat 2: 275,
278-279) demikian juga judi, diharamkan. (lihat: 5: 90-91)
3). Harta
yang diperoleh dari denda sebagai sanksi oleh karena perbuatan dosa, melanggar
undang-undang atau sebagai sanksi administratif.
4). Harta
orang murtad. Kepada orang murtad, bila setelah diperingatkan untuk
bertaubat dalam tempo tiga hari, tetapi tidak melakukannya maka sanksi hukum
untuk mengeksekusi dan diambil hartanya dan dimasukkan dalam pos
fa’i dan kharaj. Harta warisan dari orang murtad tidak dapat diwariskan kepada
keturunannya meskipun muslim dan demikian juga sebaliknya seorang muslim yang
wafat tidak dapat mewariskan hartanya kepada keturunannya yang murtad, maka
hartanya jatuh ke baitul maal. Rasulullah menegaskan :
”Orang
kafir tidak mewarisi orang muslim, demikian juga orang muslim tidak mewarisi
orang kafir”. (HR
Mutafaqun alaihi)
Amwal Fadhla
Pinjaman
Bila keadaan mendesak dan pos
pendapatan negara tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri maka
pemerintahan Islam dapat berhutang kepada pihak-pihak lain dengan tanpa
riba. Dalam sejarah, pemerintahan Islam hanya pernah dua kali
meminjam, sekali di masa Rasulullah dan sekali lagi di masa Khalifah Umar bin
Khathab. Pemerintahan Islam dapat membuat skema bagi hasil dengan
mekanisme mudharabah, musyarakah atau murabah untuk menarik investasi pembiayaan
belanja negara yang saling menguntungkan.
Kebijakan Pemerintah dalam
Menetapkan Alokasi Anggaran Belanja Negara
Sistim
Anggaran Belanja[3]
Sistim anggaran belanja pemerintah
di masa periode awal Islam ditentukan oleh jumlah pendapatan yang
tersedia. Berdasar jumlah pendapatan negara itu ditentuk anggaran
pengeluaran. Kesimpulan lain dari pola kebijakan anggaran belanja di era wal
Islam, disebutkan M.A. Manan, ”tidak berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi”. Kesimpulan kedua ini hemat penulis belumlah final,
terbuka lebar untuk diperdebatkan. Mengingat terminologi yang dipergunakan
al-Qur’an maupun yang ditunjukkan as-Sunnah bahkan realitas sejarah
terutama di masa kekhalifahan Umar membuktikan anggaran belanja pemerintah
tidak hanya habis untuk sekedar menutupi kebutuhan ekonomi masyarakat tetapi
justru memperluas akses ekonomi untuk seluruh lapisan masyarakat dan mendorong
pertumbuhan investasi. Sekedar menunjuk bukti sejarah, adalah kebijakan
Khalifah umar bin Khathab yang memerintah Amr Bina Ash, selaku Gubernur Mesir,
untuk membelanjakan sepertiga aktiva baitul maal untuk
pembangunan infra struktur, seperti pembangunan kanal antara Kairo
dan dan Pelabuhan Suez dan membangun dua pusat bisnis internasional di kota
Kufah dan Basrah dengan tujuan memperlancar aktivitas perdagangan
internasional.
Permasalahan utama yang perlu
mendapat porsi pembahasan yang memadai, adalah menimbang perkembangan sosial
ekonomi politik yang telah sangat berbeda maka sistim anggaran yang bagaimana
yang sesuai dengan Islam ?
1). Alternatif
Sistim Anggaran Belanja Negara di Era Modern
Ekonomi modern memperkenalkan
empat model anggaran belanja negara. Yaitu : pertama, anggaran
belanja berimbang dimana penerimaan dan belanja negara adalah sama. Kedua, anggaran
belanja surplus, yaitu penerimaan lebih besar daripada pengeluaran. Ketiga, anggaran
belanja defisit, yaitu anggaran yang menunjukkan lebih besar pasak daripada
tiang. Keempat, perkembangan terakhir dari sistim
anggaran yang ditawarkan oleh para ahli ekonomi untuk mengefektifkan sistim
anggaran, adalah anggaran berdar program dan prestasi kerja.
Sistim anggaran berimbang oleh
banyak ekonom telah dipandang ortodoks oleh karenanya kecenderungan setelah
alternatif kebijakan anggaran berimbang adalah kebijakan yang berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi.
Realitas
sejarah menunjukkan pada kita, Rasulullah hanya sekali menerapkan anggaran
defisit, yaitu ketika jatuhnya kota Mekah. Hutang negara segera
dibayar sebelum genap satu tahun, yaitu setelah perang
Hunain. Selanjutnya pemerintahan Islam mengambil menerapkan
kebijakan anggaran surplus. Tetapi, kita tidak dapat mengambil kesimpulan begitu
saja bahwa anggaran defisit tidak bisa atau sebaiknya dihindari untuk
diterapkan dalam suatu negara Islam. Realitas yang kita hadapi sudah
sedemikian berubah dengan masa Islam awal, mayoritas negeri Islam memiliki
sumber dana domestik yang kurang dari memadai untuk menutupi kebutuhan
pembangunan ekonominya. Kebutuhan pembiayaan belanja negara yang lebih besar
dari pos penerimaannya, sementara pemerintah enggan mengambil kebijakan fiskal
dengan menaikan pajak memaksa pembiayaan belanja negara tersebut didanai dari
pembiayaan defisit. Solusi inipun bukan tidak mengandung masalah,
karena illegalitas meminjam dengan bunga.
Realitas
kemampuan ekonomi mayoritas negara Islam yang kurang mampu membiaya anggaran
belanjanya, adalah tidak mungkin menerapkan anggaran belanja surplus, seperti
yang dianjurkan dalam beberapa literatur.
Dilematika
persoalan pilihan alternatif sistim anggaran inilah yang akan dikemukan dalam
bagian akhir makalah ini.
2). Dimensi
Kemaslahatan Ummat dalam Pilihan Sistim Anggaran Belanja
Sistim anggaran belanja yang
efektif tidak sekedar fokus pada pengeluaran pembiayaan tetapi terselenggara
dan tercapainya target-target yang direncanakan.
Kaidah-kaidah Islam yang
berkaitan dengan kebijakan ekonomi publik bertujuan mengendalikan pengelolaan
anggaran secara efektif dan efisien. Kaidah Islam dalam bidang
mu’malah, satu sisi terumuskan secara mujmal dan
bersifat prinsip, sisi lain bersifat teknis yang bersifat lentur (flesible)
sehingga dimungkinkan penggunaan ijtihad.
b)
Kaidah Menentukan Kebijakan Publik
Secara umum, Islam mengemukakan
kaidah dalam menentukan kebijakan ekonomi publik, sebagai berikut :
· Pembelanjaan
anggaran berorientasi pada kemaslahatan publik.
· Alokasi
anggaran belanja fokus pada skala prioritas dan pada hal yang mubah dan tidak
ada alasan rasional apapun yang dapat diterima untuk pembiayaan yang diharamkan
Allah SWT.
· Menghindari masyaqoh (kesulitan)
dan mudharat lebih utama daripada melakukan perbaikan.
· Untuk
menghindari kerugian, pengorbanan atau mudharat bagi publik maka kepentingan
individu atau sekelompok orang dapat dikorbankan.
· Yang
mendapat manfaat harus bersedia menanggung beban dan resiko (algiurmu bil
gunmi).
· Bila
untuk menegakkan sesuatu yang wajib, dipersyaratkan oleh sesuatu yang lain,
yang tanpanya kewajiban itu tidak dapat ditunaikan maka sesuatu itu menjadi
wajib”.
Berdasar orientasi kemaslahatan
publik maka anggaran defisit untuk konteks negara memiliki pos penerimaan yang
lebih sedikit dari pos pengeluarannya, kebijakan anggaran defisit dapat
menemukan alasan yang cukup kuat, yaitu bila ternyata dengan pembiayaan defisit
itu memacu pertumbuhan ekonomi secara merata, meningkatkan kesejahteraan rakyat
miskin dan menciptakan peluang kerja yang lebih luas. Penerapan
kebijakan anggaran defisit ini harus diperhitungkan dengan cermat, jangan
sampai pembiayaan belanja negara itu hanya akan meningkatkan GNP
tetapi tidak berdampak positif secara signifikan terhadap pemerataan
dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat miskin, bahkan sebaliknya
kebijakan pembiayaan belanja itu hanya akan menguntungkan kelompok
masyarakat aghniya.
Pembiayaan defisit dapat
bersumber pada investasi bagi hasil dengan skema mudharabah, musyarakah,
murabaha, atau skema lainnya yang legalitasnya tidak berbenturan dengan kaidah
pokok. Maka, dapat saja pemerintah mengundang investasi asing untuk
menggenapi defisit anggaran sepanjang berdampak positif dan dominan bagi
kemaslahatan publik.
Sesungguhnya sektor hukum
mu’amalah memiliki daya lentur yang membuka peluang besar untuk berijtihad,
seperti yang telah dilakukan para Khulafaur Rasyidin dan para ulama Islam di
abad pertengahan. Zakat, misalnya merupakan sumber pendapatan yang
sangat luar biasa bagi negara. Apabila negara dapat mengelola zakat
ini sebagai bagian dari kebijakan strategis negara, tidak lagi membiarkan
pengelolaan zakat oleh individu-individu atau institusi masyarakat secara
terpisah dengan kebutuhan anggaran negara maka sebagian defisit
anggaran negara dapat ditutupi oleh sektor pendanaan yang tiada pernah habis
ini oleh karena sifatnya yang diwajibkan oleh syari’ah. Besaran zakat yang
tidak pernah disebutkan secara pasti dalam al-Qur’an dalam keadaan tertentu
dapat saja dikenakan lebih besar terhadap kaum aghniya yang
selama ini diuntungkan lebih besar dari berbagai kebijakan negara.
Sektor pendapatan sumber alam
yang selama ini dikelola pihak asing dan lebih menguntungkan investor asing,
harus dikaji ulang dengan perhitungan dan kebijakan sosial politik
ekonomi yang lebih memihak pada kemaslahatan
ummat. Kekayaan alam di negara-negara Islam tersedot habis ke
negara-negara maju yang memiliki kemampuan keahlian dan teknologi pengelolaan
sumber daya alam. Realitas ini menunjukkan untuk mengambil kebijakan
yang sinkron antara kebijakan jangka pendek, menengah dan panjang, antara
kebutuhan fiansial jangka pendek dan pemeliharaan serta pemanfaatan kekayaan
alam untuk masa depan generasi bangsa.
Dalam kaitan itu, kebijakan yang
cenderung pada peningkatan kualitas sumber daya manusia harus mendapat skala
prioritas tinggi disamping pembiayaan kebutuhan jangka pendek karena memberikan
efek multiflier yang sangat signifikan. Keunggulan negara-negara
maju oleh karena keunggulan sumber daya manusia dan tanda-tanda kehancuran
negara-negara maju juga oleh karena kehancuran akhlak (sosial budaya)
masyarakatnya. Realitas menunjukkan ketersediaan kekayaan alam ternyata tidak
meningkatkan kesejahteraan rakyat karena tanpa kemampuan dan kualitas sumber
daya manusianya.
Realitas sejarah juga menunjukkan
sumber-sumber pendapatan negara Islam memiliki variasi yang lebih banyak dan
memberikan kontribusi yang tetap dan sisi pembelanjaannya menciptakan kondisi
sosial politik dan ekonomi yang stabil yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang
lebih baik. Kenyataan ini sesungguhnya merupakan manifestasi dari
totalitas komitmen generasi awal Islam terhadap agamanya sendiri, ad-Diin
al-Islam yang kemudian mewujud dalam bentuk profesionalisme (akhlak)
bekerja serta keberanian untuk berpihak pada kemaslahatan ummat
ketimbang orientasi kekuasaan dan kenikmatan kontemporer yang disuguhkan
dunia.
Sedangkan sistim anggaran
berbasis program dan prestasi, yang dalam belakangan terakhir ini
dipublikasikan dapat lebih efektif dan efisien untuk negera-negara berkembang
tidaklah cocok, karena persyaratan penerapan kebijakan anggaran ini adalah
kelangkapan dan akurasi data untuk mengukur satuan biaya untuk setiap rencana
program. Kemampuan manajemen dan administrasi pemerintahan pada
umumnya negara Islam masih sangat minim.
c) Pos
Alokasi Anggaran Belanja
Alokasi anggaran belanja negara
tidak terlepas dari tanggungjawab negara yang telah dibahas pada bab awal dalam
tulisan ini. Tanggungjawab negara merupakan refleksi dari persoalan
sosial ekonomi politik yang berkembang dan skaladharuriyahnya. Berdasar
analisis sejarah dan informasi literatur tentang distribusi aset negara yang
dilakukan baitul maal, maka anggaran belanja dalam negara Islam,
dialokasikan sebagai berikut :
· Pemenuhan
Kebutuhan masyarakat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
miskin, anggaran belanja diambil dari mata anggaran zakat, ghanimah dan fa’i.
· Belanja Pertahanan dan Pasukan
Militer. Anggaran dan termasuk pula membayar jaminan
pensiun pasukan beserta keluarga yang ditinggalkan. Pembiayaannya berasal dari pos ghanimah, fa’i dan
zakat.
· Pelayanan
Administrasi. Semua operasionalisasi negara untuk pelayanan publik
dengan kompleksitas administrasinya dan pembayaran gaji para
aparatur negara, seperti hakim, guru, gubernur, dan pejabat negara lainnya
diambil dari pos fa’i.
· Jaminan
Keamanan Sosial (social security). jaminan sosial merupakan pemberian
jaminan untuk mencukupi kebutuhan hidup minimal secara kultural yang
layak. Jaminan sosial yang diberikan baitul maal ditujukan kepada
para fakir dan miskin, anak-anak yatim, para janda, para lansia, orang cacat
bahkan kepada non muslim yang tidak mampu, lemah, cacat atau lanjut usia.
· Pensiunan
dan bantuan keuangan untuk para pejuang dan warga senior yang banyak berjasa
pada Islam.
· Pendidikan. Setiap
program pencerdasan bangsa dan penyebaran dakwah Islam ke berbagai wilayah
dibiayai oleh keuangan publik (baitul maal).
· Proyek-proyek
pembangunan seperti pra sarana dan sarana kepentingan publik : jalan raya,
pengairan lahan pertanian, penerangan, infrastruktur transportasi, dan
proyek-proyek pembangunan lainnya yang dibutuhkan publik dan mendorong
pengembangan kesejahteraan ekonomi sosial maka menjadi sasaran pembiayaan
belanja negara.
d)
Klasifikasi Alokasi Anggaran Belanja
Secara umum, alokasi anggaran
belanja pemerintahan Islam, dapat diklasifikasikan menjadi :
· Belanja kebutuhan
rutin operasional pemerintahan, mencakup belanja pemenuhan kebutuhan
masyarakat, operasional roda pemerintahan dan jaminan sosial.
· Belanja
Umum, mencakup pengadaan fasilitas dan barang publik dan pembangunan
infrastruktur sosial lainnya.
· Belanja
Proyek peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mekanisme pembiayaannya proyek
peningkatan kesejahteraan rakyat ini bisa melalui subsidi atau bantuan
langsung.
II. INTERVENSI
NEGARA TERHADAP BISNIS
Intervensi Pemerintah
Menurut Islam negara memiliki hak untuk ikut campur
(intervensi) dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu-individu, baik
untuk mengawasi kegiatan ini maupun untuk mengatur atau melaksanakan beberapa
macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu dilaksanakan oleh individu-individu. Keterlibatan
negara dalam kegiatan ekonomi pada permulaan Islam sangat kurang, karena masih
sederhananya kegiatan ekonomi yang ketika itu, selain itu disebabkan pula oleh
daya kontrol spiritual dan kemantapan jiwa kaum muslimin pada masa-masa
permulaan yang membuat mereka mematuhi secara langsung perintah-perintah
syariat dan sangat berhati-hati menjaga keselamatan mereka dari penipuan dan
kesalahan. Semua ini mengurangi kesempatan negara untuk ikut campur
(intervensi) dalam kegiatan ekonomi.
Seiring dengan kemajuan zaman, kegiatan ekonomi pun
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Namun perkembangan yang ada
cenderung menampakkan komleksitas dan penyimpangan-penyimpangan etika dalam
kegiatan ekonomi. Atas dasar itulah, maka Ibnu Taimiyah, memandang perlu
keterlibatan (intervensi) negara dalam aktifitas ekonomi dalam rangka
melindungi hak-hka rakyat/masyarakat luas dari ancaman kezaliman para
pelaku bisnis yang ada, dan untuk kepentingn manfaat yang lebih besar. Dalam kaitan ini, maka intervensi
negara dalam kegiatan ekonomi bertujuan:
Menghilangkan kemiskinan. Menurut
Ibnu Taimiyah, menghapuskan kemiskinan merupakan kewajiban negara. Beliau tidak
memuji adanya kemiskinan. Dalam pandangannnya, seseorang harsu hidup sejahtera
dan tidak tergantung pada orang lain, sehingga mereka bisa memenuhi sejumlah
kewajibannya dan keharusan agamanya. Menjadi kewajiban sebuah negara untuk
membantu penduduk agar mampu mencapai kondisi finansial yang lebih baik. Dalam kaitannya dengan daftar
pengeluaran publik dari sebuah negara, ia menulis:
“Merupakan sebuah konsensus umum
bahwa siapa pun yang tak mampu memperoleh penghasilan yang tidak mencukupi
harus dibantu dengan sejumlah uang, agar mampu memenuhi kebutuhannnya sendiri,
tak ada perbedaan apakah mereka itu para peminta-minta atau tentara, pedagang,
buruh ataupun petani. Pengeluaran untuk kepentingan orang miskin (sedekah) tak
hanya berlaku secara khusus bagi orang tertentu. Misalnya seorang tukang yang
memiliki kesempatan kerja, tetapi hasilnya tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhannnya. Atau anggota tentara yang hasil tanah garapannya (iqta’) tak
mencukupi kebutuhannya. Semuanya berhak atas bantuan sedekah”. [28]
Regulasi harga dan pasar
Sebagaimana yang telah dibahas di
awal, bahwa masalah pengawasan atas harga muncul pada masa Rasulullah SAW
sendiri sebagaimana yang telah diceritakan dalam hadits bahwa Rasulullah
menolak menetapkan harga. Beliau menolak dan berkata: “Allah mengakui adanya
kelebihan dan kekurangan. Dialah yang membuat harga berubah dan membuat harga
yang sebenarnya (musa’ir). Saya berdoa agar Allah tak membiarkan ketidakadilan
menimpa atas seseorang dalam darah atau hak miliknya”.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, salah
seorang pemikir terkenal dari mazhab Hambali mengatakan: “Imam (pemimpin
pemerintahan) tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga bagi penduduk.
Penduduk boleh menjual barang-barang mereka dengan harga berapa pun yang mereka
sukai”. Ibnu Qudamah mengutip hadits tersebut di atas dan memberikan dua alasan
tidak diperkenalkan mengatur/menetapkan harga. Pertama: Rasulullah SAW tidak
pernah menetapkan harga, meskipun penduduk menginginkannya. Bila itu
dibolehkan, pastilah Rasulullah akan melaksanakannya. Kedua: menetapkan harga
adalah suatu ketidakadilan (kezaliman) yang dilarang. Ini melibatkan hak milik
seseorang, yang di dalamnya setiap orang memiliki hak untuk menjual pada harga
berapa pun, asal ia bersepakat dengan pemiliknya.
Ibnu Qudamah selanjutnya
mengatakan bahwa ini sangat nyata apabila adanya penetapan, dan regulasi serta
pengawasan harta dari pihak pemerintahan akan mendorong terjadinya kenaikan
harga-harga barang semakin melambung (mahal). Sebab jika para pedagang dari
luar mendengar adanya kebijakan pengawasan harga, mereka tak akan mau membawa
barang dengannya ke suatu wilayah dimana ia dipaksa menjual barang dagangannya
diluar harga yang diinginkan. Dan para pedagang lokal, yang memiliki barang
dagangan akan menyembunyikan barang dagangannya. Para konsumen yang membutuhkan
akan meminta barang-barang dagangan dengan tidak dipuaskan keinginannya, karena
harganya melonjak mahal/tinggi. Harga akan meningkat dan kedua belah pihak
menderita. Para penjual akan menderita karena dibatasi menjual barang dagangan
mereka, dan para pembeli menderita karena keinginan mereka tak bisa dipenuhi
dan dipuaskan. Inilah alasan mengapa Ibnu Qudamah melarang regulasi harga oleh
pemerintah.
Negara memiliki kekuasaan untuk
mengontrol harga dan menetapkan besarnya upah pekerja, demi kepentingan publik.
Ibnu Taimiyah tidak menyukai pengawasan harga dilakukan dalam keadaan normal.
Sebab pada prinsipnya penduduk bebas menjual barang-barang mereka pada tingkat
harga yang mereka sukai. Melakukan penekanan atas masalah ini akan melahirkan
ketidakadilan dan menimbulkan dampak negatif, di antaranya para pedagang akan
menahan diri dari penjual barang pun atau menarik diri dari pasar yang ditekan
untuk menjual dengan harga terendah, selanjutnya kualitas produk akan merosot
yang akan berakibat munculnya pasar gelap.
Penetapan harga yang tidak adil
akan mengakibatkan timbulnya kondisi yang bertentangan dengan yang diharapkan,
membuat situasi pasar memburuk yang akan merugikan konsumen. Tetapi harga pasar
yang terlalu tinggi karena unsur kezaliman, akan berakibat ketidaksempurnaan
dalam mekanisme pasar. Usaha memproteksi konsumen tak mungkin dilakukan tanpa
melalui penetapan harga, dan negaralah yang berkompeten untuk melakukannya.
Namun, penetapan harga tak boleh dilakukan sewenang-wenang, harus ditetapkan
melalui musyawarah. Harga ditetapkan dengan pertimbangan akan lebih bisa
diterima oleh semua pihak dan akibat buruk dari penetapan harga itu harus
dihindari.
Kontrol atas harga dan upah
buruh, keduanya ditujukan untuk memelihara keadilan dan stabilitas pasar.
Tetapi kebijakan moneter bisa pula mengancam tujuan itu, negara
bertanggungjawab untuk mengontrol ekspansi mata uang dan untuk mengawasi
penurunan nilai uang, yang kedua masalah pokok ini bisa mengakibatkan
ketidakstabilan ekonomi. Negara harus sejauh mungkin menghindari anggaran
keuangan yang defisit dan ekspansi mata uang yang tidak terbatas, sebab akan
mengakibatkan terjadinya inflasi dan menciptakan ketidakpercayaan publik atas
mata uang yang bersangkutan. Mata uang koin yang terbuat dari selain emas dan
perak, juga bisa menjadi penentu harga pasar atau alat nilai tukar barang.
Karena itu otoritas ekonomi (negara) harus mengeluarkan mata uang berdasarkan
nilai yang adil dan tak pernah mengeluarkan mata uang untuk tujuan bisnis. Ibnu
taimiyah sangat jelas memegang pandangan pentingnya kebijakan moneter bagi
stabilitas ekonomi. Uang harus dinilai sebagai pengukur harga dan alat
pertukaran. Setiap upaya yang merusak fungsi-fungsi uang akan berakibat buruk
bagi ekonomi.
Peranan Lembaga Hisbah
Lembaga yang bertugas dalam
melakukan kontrol harga disebut dengan hisbah. Rasulullah,
sebagaimana dijelaskan diawal, memandang penting arti dan peran lembaga hisbah (pengawasan
pasar). Para muhtasib (orang-orang yang duduk di lembaga
hisbah), pada masa Rasul sering melakukan inspeksi ke pasar-pasar. Tujuan
utamanya untuk mengontrol situasi harga yang sedang berkembang, apakah normal
atau terjadi lonjakan harga, apakah terjadi karena kelangkaan barang atau faktor
lain yang tidak wajar. Dari inspeksi ini tim pengawas mendapatkan data obyektif
yang bisa ditindak lanjuti sebagai respons. Jika terjadi kelonjakan harga
akibat keterbatasan pasok barang, maka tim pengawasan memberikan masukan
kepada rasulullah dengan target utama untuk segera memenuhi tingkat penawaran,
agar segera tercipta harga seimbang. Namun, tim inspeksi juga tidak akan
menutupi bahwa jika faktor kelonjakan harga karena faktor lain (mungkin
penimbunan, ihtikar maka rasulullah langsung mengingatkan agar tidak melakukan
praktek perdagangan yang merugikan kepentingan masyarakat konsumen. Terjunnya
Rasulullah Saw, segera direspons positif dalam bentuk penurunan harga.
Sementara pedagang Yahudi dan paganis ada tidak berdaya menolak imbauan Rasul.
Dari realitas itu terlihat bahwa lembaga hisbah sejak masa nabi cukup efektif
dalam membangun dinamika harga yang di satu sisi memperhatikan kepentingan
masyarakat konsumen dan di sisi lain tetap menumbuhkan semangat perniagaan para
pelaku ekonomi di pasar-pasar itu.
Setelah Rasulullah Saw wafat,
peranan lembaga hisbah diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin.
Bahkan ketika khalifah Umar, lembaga hisbah lebih agersif lagi. Hal ini
didasarkan oleh perkembangan populasi yang memaksa pusat-pusat perbelanjaan
juga meningkat jumlahnya. Apabila kondisi ini tidak diantisipasi dengan sistem
kontrol yang ketat dan bijak, akan menjadi potensi ketidak seimbangan
harga yang tentu merugikan masyarakat konsumen.
Menyadari potensi resiko ini,
para khalifah yang empat memandang penting peran lembaga hisbah. Sejarah
mencatat bahwa pada masa khalifah yang empat, masalah harga dapat dikontrol dan
pada barang tertentu dapat dipatok dengan angka minimum-maksimum yang wajar.
Maknanya, di satu sisi, kepentingan konsumen tetap dilindungi, dan di sisi
lain, kepentingan kaum pedagang tetap diberi kesempatan mencari untung, tetapi
dirancang untuk menjauhi sikap eksploitaasi dan kecurangan.
Yang perlu dicatat, adalah
keberhasilan lembaga hisbah dalam kontrol harga dan pematokan
harga wajar (normal). Keberhasilan ini disebabkan efektifitas kerja tim
lembaga hisbah yang commited terhadap missi
dan tugas pengawasan di lapangan. Komitmen ini menjauhkan seluruh anggota tim
untuk melakukan kolusi dan menerima risywah (suap).
Lebih lanjut di dalam salah satu
bagian dari bukunya “Fatawa”, Ibn Taimiyah mencatat beberapa hal menyangkut
persoalan harga di dalam pasar, hubungannya dengan faktor yang
mempengaruhi demand dan supply sebagai berikut :
Keinginan konsumen (raghbah) terhadap
jenis barang yang beraneka ragam atau sesekali berubah. Keinginan tersebut
karena limbah ruahnya jenis barang yang ada atau perubahan yang terjadi karena
kelangkaan barang yang diminta (mathlub). Sebuah barang sangat
diinginkan jika ketersediaannya berlimpah, dan tentu akan berpengaruh terhadap
naiknya harga.
Perubahan harga juga tergantung
pada jumlah para konsumen. Jika jumlah para konsumen dalam satu jenis
barang dagangan itu banyak maka harga akan naik, dan terjadi sebaliknya harga
akan turun jika jumlah permintaan kecil.
Harga akan dipengaruhi juga oleh
menguatnya atau melemahnya tingkat kebutuhan atas barang karena meluasnya
jumlah dan ukuran dari kebutuhan, bagaimanapun besar ataupun kecilnya. Jika
kebutuhan tinggi dan kuat, harga akan naik lebih tinggi ketimbang jika peningkatan
kebutuhan itu kecil atau lemah.
Harga juga berubah-ubah sesuai
dengan siapa pertukaran itu dilakukan (kualitas pelangan). Jika ia kaya
dan dijamin membayar hutang, harga yang rendah bisa diterima olehnya, dibanding
dengan orang lain yang diketahui sedang bangkrut, suka mengulur-ulur pembayaran
atau diragukan kemampuan membayarnya.
Harga itu dipengaruhi juga oleh
bentuk alat pembayaran (uang) yang digunakan dalam jual beli. Jika yang
deigunakan umum dipakai, harga akan lebih rendah ketimbang jika membayar dengan
uang yang jarang ada di peredaran.
Suatu obyek penjualan (barang),
dalam satu waktu tersedia secara fisik dan pada waktu lain terkadang tidaj
tersedia. Jika obyek penjualan tersedia, harga akan lebih murah ketimbang jika
tidak tersedia. Kondisi yang sama juga berlaku bagi pembeli yang sesekali mampu
membayar kontan karena mempunyai uang, tetapi sesekali ia tak memiliki dan
ingin menangguhnkannya agar bisa membayar. Maka harga yang diberikan pada
pembayaran kontan tentunya akan lebih murah dibanding sebaliknya.
III. BATAS-
BATAS INTERVENSI NEGARA TERHADAP BISNIS
Penentuan
Harga Yang Fix.
Tas’ir (penetapan harga) merupakan
salah satu praktek yang tidak dibolehkan oleh syariat Islam. Pemerintah ataupun
yang memiliki otoritas ekonomi tidak memiliki hak dan wewenang untuk menentukan
harga tetap sebuah komoditas, kecuali pemerintah telah menyediakan pada para
pedagang jumlah yang cukup untuk dijual dengan menggunakan harga yang
ditentukan, atau melihat dan mendapatkan kezaliman-kezaliman di dalam sebuah
pasar yang mengakibatkan rusaknya mekanisme pasar yang sehat. Tabi’at (tetap)
ini dapat kita lihat dari bagaimana sikap Rasulullah SAW terhadap masalah ini.
Tatkala rasulullah SAW didatangi oleh seorang sahabatnya untuk meminta
penetapan harga yang tetap. Rasulullah SAW menyatakan penolakannya. Beliau
bersabda:
بل ان الله يخفض و يرفع وانى لأرجوا أن ألقى الله وليس لأحد عندى مظلمة (رواه أبو داؤد)
“Fluktuasi
harga (turun-naik) itu adalah perbuatan Allah, sesungguhnya saya ingin berjumpa
dengan-Nya, dan saya tidak melakukan kezaliman pada seorang yang bisa dituntut
dari saya”(HR. Abu Dawud)
Dari
sini jelas bahwasanya tidak dibenarkan adanya intervensi atau kontrol manusia
dalam penentuan harga itu, sehingga akan menghambat hukum alami yang dikenal
dengan istilah supply and demand.
Yang
serupa dengan tas’ir (penetapan harga) dan sama terkutuknya
adalah praktek bisnis yang disebut dengan proteksionisme. Ini adalah bentuk
perdagangan dimana negara melakukan pengambilan tax (pajak)
baik langsung maupun tidak langsung kepada para konsumen secara umum. Dengan
kata lain, ini adalah sebuah proses dimana negara memaksa rakyat untuk membayar
harga yang sangat tinggi pada produksi lokal dengan melakukan proteksi pada
para pelaku bisnis agar terhindar dari kompetisis internasional.
Proteksionisme
tidak dihalalkan karena akan memberikan keuntungan untuk satu pihak dan akan
merugikan dan menghisap pihak lain, yang dalam ini adalah masyarakat umum.
Lebih dari itu, proteksi juga merupakan sebab utama terjadinya inflasi dan akan
mengarah pada munculnya kejahatan bisnis yang berbentuk penyeludupan pasar
gelap (black market), pemalsuan dan pengambilan untung yang
berlebihan. Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa proteksi merupakan bentuk
tindakan ketidakadilan, yang terjelek/terburuk. Dia menyatakan bahwa
proteksi sangat berbahaya bagi kedua belah pihak baik protektor maupun orang
yang diproteksi, dengan alasan bahwa ini adalah tindakan peningkatan hak
kemerdekaan berdagang yang Allah SWT berikan.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman Azwar,
2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta, Pustaka Palajar
Mannan, Muhammad Abdul. 1993. Islamic Economic
: Theory and Practice (Ekonomi Islam : Teori dan Praktek),
terj. Nastangin, Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf
Qardhawi,
Yusuf. 1997. Daurul Qiyam wa al-Akhlak fi al-Iqtishad al-Islami (Peran Nilai
dan Moral dalam Perekonomian Islam), terj. Didin Hafidhuddin dkk., Jakarta,
Robbani Press
Rahman,
Afzalur, 1995, Economic Doctrines of Islam (Doktrin Ekonomi Islam II), terj. Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arabi, Beirut,
Darul Ihya At-Turast al-‘Araby, Juz 14, hlm. 304.
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of
Islam, Edisi Indonesia, Doktrin Ekonomi Islam, jilid 4 Terj.
Suroyo Nastangin, Dana Bhati Wakaf Yogyakarta, 1996, hlm. 161.
Hadits ini dikutip oleh S.M.Yusuf, op.cit.,
hlm 47 dan Mustaq Ahmad, op.cit, hlm 148t-Tirmizy, Al-Jami
Shahih Sunan At-Tirmizy, No Hadits 1310, Juz III, Dar al-Fikri Beirut, hlm
Op cit, Dr. S. Waqar Ahmed
Husaini, hal 290-319.
Ir. H. Adiwarman A. Karim,
“Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, Jakarta, Rajawali Pers, 2004.
Op cit, Dr. Sabahuddin Azmi,
hal. 59-87.
MA Manan, ”Islamic Economic :
theory and Practice”, (terjemahan), Jakarta, Intermasa, 1992, hal. 357-364.
[2] Taqiyuddin an-Nabani, “Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif dalam Perspektif Islam”, Surabaya, Risalah Gusti, 1996, hal. 253-270
Op cit, Abdul Q Zallum, hal 16-192.
Jusmaliani dan M Soekarni (editor),
“Kebijakan Ekonomi Dalam Islam”, yogyakarta, kreasi Wacana Yogya, 2005, hal.
143-174
Op cit, MA, Manan,
hal 234-238
Dr. M. Umer Chapra,
”Islam dan Tantangan Ekonomi”, Jakarta, Gema Insani pres dan Tazkia, 2000, hal.
113-146, 262-278
Op cit,
Dr. sabahuddin Azmi, 180-220
Op cit, MA Manan, 367-396
Op cit, Taqiyuddin an-Nabani,
hal. 267-270
No comments:
Post a Comment