BAB 9
PANDANGAN
ISLAM TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DALAM KAITANNYA DENGAN LINGKUNGAN ALAM
(M.
TAUFIQ ABADI MM)
PENDAHULUAN
Semenjak penemuan mesin uap oleh James Watt pada
abad ke-18 membuat perkembangan bisnis yang semula banyak berkecimpung pada
perdagangan dan pertanian (agraris) bergeser ke arah industrialis. Semenjak
itu, banyak sekali dibangun pabrik-pabrik yang lambat laun teknologi yang
digunakan bertambah canggih sehingga perekonomian seakan berpusat pada industri
dan menghasilkan apa yang kita lihat saat ini. Eksploitasi sumber daya yang ada
pun semakin mudah dan marak, tak ayal, gunung-gunung, lautan luas, hingga tanah
bebatuan yang keraspun tak menjadi hambatan yang berarti dalam
peng-eksploitasi-an tersebut, terutama eksploitasi sumber daya alam.
Di samping itu, penggunaan dan pengolahan berbagai
mesin dan sumber daya alam menjadi barang yang siap dipasarkan menimbulkan
problema baru bagi manusia ataupun alam tersebut. Banyak daerah atau tempat
yang banyak mengandung sumber daya seperti tanah ataupun laut dieksploitasi
dengan tidak bijak, pengolahan yang begitu canggih menimbulkan kotoran-kotoran
mesin ataupun sisa pengolahan berupa limbah yang tidak baik bila dibuang
langsung ke alam tidak begitu diperhatikan. Wal hasil berbagai peraturan pun
mulai diterapkan untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan. Namun
tidak banyak memberikan perubahan disebabkan etika moral dari pelaku usaha yang
buruk.
Islam sesungguhnya telah mengatur rambu-rambu dalam
melakukan suatu usaha ataupun bisnis, baik dalam aspek perdagangan, pertanian
ataupun industri. Dalam pelaksanaan ibadah mahdloh pun terdapat berbagai aturan
yang secara filosopis menunjukan etika dalam keseharian kita, termasuk di
dalamnya dalam berbisnis dan menjaga lingkungan alam sekitar. Selain itu,
tuntunan dari Nabi Muhammad SAW juga banyak menjelaskan akhlak kita terhadap
lingkungan, baik tumbuhan atau hewan. Maka dari itu, sepatutnyalah bagi setiap
orang yang mengaku beragama Islam menggali dan mengambil contoh serta
memperaktikan dan mengamalkan apa-apa yang telah digariskan dalam Islam, baik
yang tertera dalam al-Qur’an ataupun ajaran dan contoh dari Rasulullah SAW.
Begitu halnya dalam menjalankan suatu usaha atau
kegiatan ekonomi (produksi, distribusi dan konsumsi). Hendaknya mengambil dan
mengamalkan etika yang telah ada dalam Islam itu tersendiri termasuk di
dalamnya etika berbisnis dalam kitannya dengan tanggung jawab terhadap
lingkungan alam sekitar.
PEMBAHASAN
A. TUNTUNAN ISLAM MEMELIHARA
LINGKUNGAN ALAM
Dalam Islam, lingkungan merupakan hal yang harus
diperhatikan. Kita diperintahkan untuk senantiasa memelihara lingkungan alam
yang ada, hal ini sesungguhnya merupakan bagian dari tugas manusia sebagai
khalifah di muka bumi ini. Dalam menjalani kehidupan kita diperintahkan untuk
selalu berperangai baik, baik kepada diri dan orang lain dan lingkungan
sekitar. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ سعْدُ بْنِ
سِنَانِ الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه
وسلَّمَ قَالَ : لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ )حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه
وَالدَّارُقُطْنِي وَغَيْرُهُمَا(
Artinya: “Dari Abu Sa'id, Sa'ad bin Malik bin Sinan
Al Khudri"Janganlah engkau membahayakan dan saling merugikan".” (HR
Ibnu Majah dan Daruqutni)
Dalam hadits di atas, kita dilarang untuk berbuat
sesuatu yang berbahaya dan merugikan, termasuk di dalamnya membuat kerusakan
lingkungan. Kita sebgai khalifah di bumi ini harus memelihara bumi dan
mengolahnya dengan semangat ibadah. Hal ini tersirat dalam firman Allah SWT:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ
الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا
أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (keni'matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan”[1]
Dalam ayat di atas, Allah pertama-tama menyuruh kita
untuk senantiasa mencari kebahagiaan akhirat, artinya kita tidak boleh
melupakan perintah-Nya yang paling asasi, yakni beribadah kepadanya sebagaimana
firmannya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah)kepada-Ku”[2]
Setelah itu Allah melarang kita untuk melupakan
bagian kita di dunia, ini menunjukkan bahwa kita harus aktif dalam mencari
karunianya dengan bekerja dengan giat dan tidak bermalas-malas. Dalam redaksi
ayat tersebut menggunakan seruan larangan sehingga kita harus berusaha
(berbisnis). Berusaha disini hendaknya usaha yang dapat membawa kebaikan bagi
orang lain. Bila kita lihat kembali, setelah kita diperintahkan untuk
beribadah, kita diperintahkan untuk mencari bagian dunia, hal ini menunjukan
dalam setiap tindak tanduk kita hendaknya didasari oleh agama Allah dengan
melakukan segalanya sesuai dengan perintah serta tuntunan agama dengan tidak
merugikan orang lain.
Selanjutnya Allah memperingatkan kita untuk tidak
berbuat kerusakan dimuka bumi ini. Artinya dalam melakukan segala kegiatan kita
hendaknya kita tidak merusak lingkungan alam. Hal ini karena bila kita merusak
maka sangat mungkin menimbulkan kemudharatan bagi kita dan manuisa yang
lainnya. Sehingga bertentangan dengan maksud potongan ayat sebelumnya yang
memerintahkan kita untuk senantiasa melakukan usaha yang dapat memberikan
kebaikan atau manfaat kepada orang lain.
Di akhir ayat, Allah menegaskan bahwa Ia membenci
orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka hendaknya kita mengingat ini semua
bahwa dalam setiap usaha yang kita lakukan, hendaknya mendatangkan manfaat bagi
orang lain dan tidak menimbulkan kerusakan.
Jadi, dalam syari’at Islam, kita perintahkan untuk
selalu menjaga dan memelihara etika dalam melaksanakan stiap kegiatan ibadah
atau keduniaan, termasuk di dalamnya kegiatan bisnis. Sebagai contoh, bagi
algojo yang akan mengeksekusi atau tukang jagal yang ingin menyembelih ternak,
diperintahkan untuk melakukannya dengan baik:
عَنْ أَبِي يَعْلَى شَدَّاد ابْنِ
أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ
فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ
وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ . [رواه مسلم]
Artinya: “Dari abu ya'la, Syaddad bin Aus"
Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik pada segala hal, maka jika kamu
membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik dan jika kamu menyembelih
maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisau dan
menyenangkan hewan yang disembelihnya"” (HR. Muslim).
B. KEGIATAN EKONOMI DAN
TANGGUNG JAWAB LINGKUNGAN ALAM
Sebagai mana dijelaskan di atas, Islam selalu
mendorong kita untuk senantiasa memlihara lingkungan alam dengan mengolahnya
dengan bijak sehingga menghasilkan kebaikan bagi semuanya serta menghindari
untuk berbuat kerusakan dan menjaga etika dalam bekerja. Setidaknya dalam
melaksanakan kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup kita, baik itu sandang, papan
ataupun pangan yang merupakan kebutuhan pokok manusia ataupun kebutuhan
sekunder seperti mencapai hal-hal yang kita impikan atau inginkan yang
direalisasikan dengan kegiatan ekonomi; produksi, distribusi, ataupun konsumsi
haruslah tetap berdasarkan agama dengan menerapkan etika hidup yang luhur dengan
tidak berbuat kerusakan di muka bumi ini.
1. Etika Dalam
Produksi
Eksplorasi nilai dan prinsip etika Islam dalam
proses produksi berporos pada proses kerja yang mencerminkan amal saleh dan
amanah untuk mewujudkan maslahah maksimum, profesionalisme dan pembelajaran
sepanjang waktu untuk mencapai efisiensi.[3] Proses kerja yang dilandasi dengan
semangat untuk mencapai out put yang sesuai dengan permintaan pasar sehingga dapat
memperoleh laba yang diinginkan tanpa menghadapi masalah yang berat di saat
produksi ataupun setelahnya, memang menjadi spirit tersendiri bagi setiap
produsen. Namun tanggung jawab sosial baik secara vertikal maupun horizntal
juga perlu ditumbuhkan. Proses produksi dengan menanamkan di dalamnya etika
relijius, baik dalam memilih bahan, mengolah dan menjaga kualitasnya dari
segala aspek bisa dikatakan sebagai bentuk tanggung jawab vertikal. Dengan
memilih dan memilah bahan yang memang dibolehkan oleh agama, yakni dengan hanya
menggunakan hal-hal yang dihalalkan dan menghindari hal-hal yang diharamkan
merupakan wujud dari tanggung jawab ini. Proses mendapatkan barang produksi
juga termasuk di dalamnya, jangan sampai bahannya halal tapi cara mendapatkannya
yang haram. Itulah mengapa di dalam Islam dilarang membeli barang dari orang
dusun yang tidak mengetahui harga pasar yang berlaku.
Dalam hal produksi yang berupa pengambilan langsung
dari alam, hendaknya menjaga keseimbangan alam, seperti tidak melakukan eksploitasi
yang berlebihan. Hendaknya mengambil secukupnya dan sekedarnya, jangan sampai
merusak dan mengancam keberlangsungan lingkungan alam seperti penggundulan
hutan, perburuan berlebihan, penangkapan ikan dengan bom atau racun dan
sebagainya. Sumber daya alam yang ada seyogyanya digunakan secara bersama-sama
dan dicari (eksploitasi) secara benar dan jujur serta dijaga dengan
sebaik-baiknya karena merupakan amanah dari Allah.[4] Maka dari itu tidak ada yang berhak
menghancurkannya, dan siapa saja yang berbuat kerusakan atasnya, tentu akan
mendapat siksa dari Allah.
Dalam hal pengolahan pun juga haruslah memperhatikan
tata cara yang baik dan bertanggung jawab. Dalam pengolahan suatu barang,
hendaknya memperhatikan beberapa hal. Pertama, tempat pengolahan hendaknya
tidak mengganggu lingkungan sekitar. Apabila dalam peroses pengolahan
menimbulkan suara atau bau yang dapat mengganggu lingkungan, maka hendaknya
tempat (pabrik) dibangun di tempta yang jauh dari pemukiman. Begitu juga bila
memelihara hewan ternak, hendaknya kandang berada di tempat yang sekiranya
tidak mengganggu lingkungan sekitar.
Selian itu, seringkali pengolahan terutama pada
bidang industri menghasilkan kotoran atau sisa-sisa yang tidak terpakai
(limbah). Seyogyanya limbah dari suatu proses produksi tidak langsung dibuang
ke lingkungan alam, apalagi membuangnya pada tempat dimana bergantung hajat
hidup orang banyak seperti sungai, danau, dekat mata air, laut, sawah dan
sebagainya. Bila terdapat limbah, alangkah baiknya untuk didaur agar bisa
digunakan atau menetralisirnya sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan. Hal
ini untuk menghindari terjadinya pencemaran lingkungan. Bila terjadi pemcemaran
lingkungan, maka pihak yang bersalah harus bertanggung jawab[5] dengan membersihkan limbah tersebut
dan/atau menutup/mengalihkan pembuangan ke tempat yang jauh dan tidak
mengganggu lingkungan seperti ke dasar laut dalam.
Hal ini sesungguhnya juga demi kebaikan umat manusia
sendiri, karena bila lingkungan tercemar, maka yang akan menanggung rugi
adalah manusia jua. Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي
عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar)”[6]
2. Etika
Dalam Distribusi
Dalam distribusi, implementasi pokok etika sosialnya
berada pada jual beli yang mengarah pada kejujuran informasi dan timbangan yang
diharapkan menghasilkan rasa saling meridho diantara penjual dan pembeli. Dalam
Al-Qur’an Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً
عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”[7]
وَيَا قَوْمِ أَوْفُواْ الْمِكْيَالَ
وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلاَ تَبْخَسُواْ النَّاسَ أَشْيَاءهُمْ وَلاَ
تَعْثَوْاْ فِي الأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Artinya: “Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku,
cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan
manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka
bumi dengan membuat kerusakan”[8]
Dalam kaitannya dengan lingkungan alam lebih kepada
pengadaan prasarana distribusi tersebut. Diantara hal yang sering menimbulkan
masalah ialah lingkungan pasar. Kebanyakan pasar terutama pasar tradisional di
negara kita masih “semberaut” dan kebersihannya tidak terjaga. Hal ini dapat
menimbulkan gangguan kesehatan bagi penjual atau pembeli yang berkunjung ke
pasar tersebut. Selain itu, bila pasar tersebut berada di dekat sungai maka
para pelaku usaha di pasar tersebut membuang sampah ke sungai tersebut sehingga
mengganggu ekosistem yang ada tersebut dan tentu mengganggu warga yang
bergantung atau berada di sepanjang aliran sungai.
Di sisi lain, pembangunan pusat perbelanjaan yang
layak seringkali menempati tempat yang tidak semestinya. Sebagai contoh,
pembangunan pusat perbelanjaan (mall/ruko) sering dibangun pada lahan yang
produktif untuk penghasil/pengembangan pangan semisal sawah yang tanahnya subur.[9] Seyogyanya
bila akan membangun pusat perbelanjaan hendaknya pada tempat atau lahan yang
tidak produktif atau subur. Hal ini untuk mengantisipasi kelangkaan pangan di
masa depan.
3. Etika Dalam
Konsumsi
Sebenarnya konsumsi tidak masuk ke dalam ranah
bisnis, tapi karena prilaku konsumen dalam melakukan konsumsi ikut menjadi
pertimbangan bagi pelaku bisnis lainnya (produsen &/distributor) maka
penting juga untuk dubahas. Selain itu dampak yang ditimbulkan oleh konsumen
terhadap lingkungan alam dewasa ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Dalam
realitanya banyak kita temukan pencemaran lingkungan juga dilakukan oleh
konsumen. Pembuangan sampah secara sembarangan menjadi hal terbesar dalam
pencemaran lingkungan oleh konsumen.
Membuang sampah secara sembarangan berdampak serius
pada lingkungan. Tidak adanya pemisahan sampah organik dan anorganik
menyebabkan daur ulang atau penanganan sampah menjadi semakin rumit. Selain itu,
kebanyakan sampah dewasa ini berupa bahan anorganik yang sulit terurai secara
alami, kalaupun bisa memerlukan waktu yang panjang. Dampak lain dari membuang
sampah sembarangan ialah terjadinya berbagai bencana dan menyeebarnya beberapa
penyakit. Sampah-sampah yang dibuang ke suangai atau ke saluran air dapat
menyumbat saluran sehingga ketika turun hujan saluran tersumbat yang
selanjutnya menimbulkan banjir. Sampah-sampah anorganik juga menghambat
peresapan air hujan secara langsung ke dalam tanah, air tertahan di atas sampah
tersebut, semisal plastik, kaleng, ataupun yang lainnya. Genangan air pada
sampah ini pada gilirannya menjadi media penyebaran penyakit seperti menjadi
tempat perkembangbiakan nyamuk demam berdarah.
Oleh sebab itu perlu tindakan untuk mencegah atau
mengurangi pencemaran tersebut. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk
merealisasikannya. Pertama, perlunya menumbuhkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya kebersihan lingkungan. Kedua, bila ada sampah plastik, hendaknya di
daur ulang, atau dibakar, atau mungkin dimanfaatkan kembali seperti membuat
kerajinan tangn dari sampah atau menjadikannya media tanam untuk menanam
sayuran rumahan seperti bayam, cabai dan lainnya.
Selanjutnya bagi pihak produsen hendaknya
menggunakan plastik yang lebih mudah terurai atau dapt didaur ulang. Hal ini
telah dilakukan oleh beberapa perusahaan, salah satunya AlfaMart yang
menyediakan plastik yang mudah hancur atau terurai.
berlaku adil dan jujur serta membangun dan memilih
sarana dan prasarana dengan bijaksana.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya
Budi Setyanto, dkk, Etika Bisnis Islam,
Jakarta:Gramata Publishing, 2011
M. Umer Capra, Islam dan Tatanan Ekonomi,
terj.Ikhwan Abidin B., Jakarta: Gema Insani Press, 2000
Rafik Issa Beekum, Etika Bisnis Islami,
terj.Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
[4] M.
Umer Capra, Islam dan Tatanan Ekonomi, terj.Ikhwan Abidin B., (Jakarta:
Gema Insani Press, 2000) hlm.209
[5] Rafik
Issa Beekum, Etika Bisnis Islami, terj.Muhammad, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004) hlm.87
[9] Sebagai
contoh, pada saat ini (2014) di daerah Narmada akan dibangun pusat perbelanjaan
(mall), mungkin ini baik bagi perkembangan wisata, namun sayangnya pembangunan
tersebut dilakukan pada lahan yang produktif/subur
No comments:
Post a Comment