BAB 12
PERMASALAHAN UKM
A. Sifat
Permasalahan
Seperti halnya
juga Negara – Negara lain. Perkembangan UKM di Indonesia tidak lepas dari
berbagai macam masalah. Tingkat intensitas dan sifat dari masalah – masalah
tersebut bisa berbeda tidak hanya menurut jenis produk atau pasar yang
dilayani. Tetapi juga berbeda antar wilayah / lokasi, antarsentra, antar sektor
atau subsektor atau jenis kegiatan, dan antarunit usaha dalam kegiatan / sektor
yang sama. Namun demikian, ada beberapa masalah yang umum dihadapi oleh
pengusaha kecil dan menengah seperti keterbatasan modal kerja dan / atau modal
investasi, kesulitan mendapatkan bahan baku dengan kualitas yang baik dan harga
yang terjangkau, keterbatasan teknologi, SDM dengan kualitas yang baik (terutama
manajemen dan teknisi produksi), informasi khususnya mengenai pasar, dan
kesulitan dalam pemasaran (termasuk manajemen dan teknisi distribusi). Dengan
perkataan lain, masalah – masalah yang dihadapi banyak pengusaha kecil dan
menengah bersifat mulidismensi. Selain itu, secara alami ada beberapa
permasalahan yang bersifat lebih intern (sumbernya di dalam perusahaan),
sedangkan lainnya lebih bersifat eksternal (sumbernya di luar perusahaan, atau
di luar pengaruh perusahaan), sedangkan lainnya lebih bersifat eksternal
(sumbernya di luar perusahaan, atau di luar pengaruh perusahaan). Dua masalah
eksternal yang oleh banyak pengusaha kecil dan menengah dianggap paling serius
adalah keterbatasan akses ke bank dan distorsi pasar (output maupun input) yang
disebabkan oleh kebijaksanaan – kebijaksanaan atau peraturan – peraturan
pemerintah yang tidak kondusif, yang disengaja maupun tidak disengaja lebih
menguntungkan pengusaha besar, termasuk investor asing (PMA).
Masalah –
masalah tersebut di atas semakin terasa bagi pengusaha – pengusaha yang
melayani pasar terbuka atau ekspor, lain halnya dengan pengusaha – pengusaha
yang hanya melayani pasar lokal di daerah yang relatif terisolasi. Oleh karena
itu, di pasar terbuka mereka berhadapan dengan produk – produk serupa dari
pengusaha – pengusaha besar yang lebih unggul dalam banyak hal, majupun
persaingan dari barang – barang impor. Bahkan di pasar ekspor, pengusaha –
pengusaha kecil maupun menengah Indonesia harus berhadapan dengan mitra mereka
juga dari skala usaha yang sama dan lebih maju dari Negara – Negara lain. Dalam
kondisi pasar seperti ini, faktor – faktor seperti penguasaan teknologi dan
informasi, modal yang cukup, termasuk untuk melakukan inovasi dalam produk dan
proses produksi, pembaharuan mesin dan alat – alat produksi dan untuk melakukan
kegiatan promosi yang luas dan agresif, pekerja dnegan keterampilan yang
tinggi, dan manajer dengan etrepreneurship dan tingkat keterampilan yang tinggi
dalam business management serta memiliki wawasan yang luas
menjadi faktor – faktor yang sangat penting, untuk paling tidak mempertahankan
tingkat daya saing global.
Kasus IK dan IRT
Sebagai suatu
kasus mengenai masaah – masalah yang dihadapi UKM, hasil survei BPS terhadap
industri kecil (IK) dan industri rumah tangga (IRT) tahun 1993 menunjukkan
bahwa ada lima (5) masalah utama yang dihadapi kelompok industri tersebut.
Masalah – masalah ini dapat dikatakan umum dihadapi oleh pengusaha – pengusaha
IK dan IRT, terutama mereka yang berlokasi di daerah pedalaman yang relatif
terisolasi dari pusat – pusat administrasi pemerintah dan kegiatan ekonomi dan
keuangan. Bisa dilihat bahwa di antara problem – problem tersebut, yang paling
sering disebut adalah keterbatasan modal, disusul kemudian dengan kesulitan
dalam pemasaran sebagai masalah besar kedua yang dihadapi oleh sebagian besar
dari pengusaha – pengusaha yang masuk di dalam sampel survei. Hanya persentase
kecil dari responden yang mengaku mempunyai kesulitan besar yang berkaitan
dengan bahan baku. Biasanya masalah bahan baku dalam bentuk harga yang terlalu
mahal, tempat mendaftarkannya terlalu jauh dari lokasi mereka, biaya
penyimpanan stok terlalu mahal, atau kualitas bahan baku yang didapat tidak
sesuai dengan yang diinginkan. Yang cukup menarik dari hasil survei BPS tersebut
adalah bahwa jumlah pengusaha yang mengatakan keterbatasan SDM merupakan suatu
masalah serius ternyata tidak banyak, baik yang berlokasi di daerah pedesaan
maupun di perkotaan.
Pembahasan lebih
dalam tentang permasalahan UKM.
Kesulitan
Pemasaran
Dalam literatur,
pemasaran sering dianggap sebagai salah satu kendala yang kritis bagi
perkembangan UKM. Hasil dari suatu studi lintas Negara yang dilakukan oleh
James dan Akrasanee (1998) di sejumlah Negara ASEAN menunjukkan bahwa pemasaran
adalah termasuk growth constraint yang dihadapi oleh banyak
pengusaha kecil dan menengah (masalah ini dijumpai tidak terlalu serius di
Singapura). Studi ini menyimpulkan bahwa jika UKM tidak melakukan perbaikan
yang cukup di semua aspek – aspek yang terkait dengan pemasaran seperti
kualitas produk dan kegiatan promosi maka sulit sekali bagi UKM untuk dapat
turut berpartisipasi dalam era promosi maka sulit sekali bagi UKM untuk dapat
turut berpartisipasi dalam era perdagangan bebas.
Hasil studi
mereka itu menunjukkan bahwa salah satu aspek yang terkait dengan masalah
pemasaran yang umum dihadapi oleh UKM adalah tekanan – tekanan persaingan, baik
di pasar domestik dari produk – produk serupa buatan UB dan impor, maupun di
pasar ekspor. Saat ini, di Negara – Negara Asia yang terkena krisis keuangan
seperti Indonesia, Filipina, dan Korea Selatan, masalah pemasaran bisa menjadi
lebih serius, karena sebagai salah satu efek dari krisis tersebut akses ke
kredit bank menjadi sulit (kalau tidak dapat dikatakan tertutup sama sekali), ditambah
lagi dengan mahalnya bahan baku yang pada umumnya diimpor, dan permintaan pasar
dalam negeri yang menurun karena
merosotnya
tingkat pendapatan riil masyarakat per kapita. Akibatnya dapat di duga bahwa
banyak UKM tidak memiliki sumber daya produksi yang cukup untuk paling tidak
mempertahankan volume produksi dan memperbaiki kualitas dari produk – produk
mereka, dan ini berarti mereka semakin sulit untuk meningkatkan atau bahkan
mempertahankan tingkat daya saing mereka di pasar domestis maupun pasar internasional.
Keterbatasan
Finansial
UKM, khususnya
UK di Indonesia menghadapi dua masalah utama dalam aspek finansial : mobilisasi
modal awal (star – up capital) dan akses ke modal kerja dan
finansial jangka panjang untuk investasi yang sangat diperlukan demi
pertumbuhan output jangka panjang. Walau pada umumnya modal awal bersumber dari
modal (tabungan) sendiri atau sumber – sumber informal, namun sumber – sumber
permodalan ini sering tidak cukup untuk kegiatan produksi, apa lagi untuk
investasi (perluasan kapasitas produksi atau menggantikan mesin – mesin tua).
Sementara, mengharapkan sisa dari kebutuhan finansial sepenuhnya dibiayai oleh
dana dari perbankan jauh dari realitas. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika
hingga saat ini walaupun begitu banyak skim – skim kredit dari perbankan dan
dari bantuan BUMN, sumber – sumber pendanaan dari sector informal masih tetap
dominan dalam pembiayaan kegiatan UKM, terutama usaha mikro / rumah tangga. Hal
ini disebabkan oleh pengusaha yang tinggal di daerah yang relatif terisolasi,
persyaratan terlalu berat, urusan administrasi terlalu bertele – tele dan
kurang informasi mengenai skim – skim perkreditan yang ada dan prosedurnya
(Tambunan, 1994 dan 2000).
Dalam hal jenis
kepemilikan modal, baik di kelompok IK maupun IRT jumlah pengusaha yang
membiayai usahanya sepenuhnya dengan uang sendiri atau dengan modal sendiri dan
pinjaman, lebih banyak daripada jumlah pengusaha yang menggunakan 100 persen
modal dari pihak lain. Walaupun komposisinya bervariasi menurut golongan besar
industri, baik di IK maupun di IRT sebagian besar dari jumlah pengusaha dengan
100 persen modal sendiri terdapat di industri makanan, minuman dan tembakau,
industri kulilt, tekstil dan produk – produknya, dan industri kayu, bambu dan
rotan serta produk – produknya.
Keterbatasan SDM
Keterbatasan SDM
juga merupakan salah satu kendala serius bagi banyak UKM di Indonesia, terutama
dalam aspek – aspek entrepreneurship, manajemen, teknik produksi, pengembangan
produksi, engineering design, quality control,
organisasi bisnis, akuntansi, data processing, teknik pemasaran, dan penelitian
pasar. Sedangkan semua keahlian ini sangat dibutuhkan untuk mempertahankan atau
memperbaiki kualitas produk, meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam
produksi, memperluas pangsa pasar dan menembus pasar baru.
Sayangnya tidak
ada data mengenai tingkat pendidikan di UKM, yang ada hanya data mengenai
tingkat pendidikan pengusaha dan pekerja di IK dan IRT. Seperti yang dapat
dilihat di Tabel 4.14, data BPS Tahun 1998 menunjukkan bahwa lebih dari 50
persen dari jumlah pengusaha IK dan IRT hanya.
Jumlah Pengusaha
IK dan IRT Menurut Kategori Pendidikan, Tahun 1998
IK
|
IRT
|
|||
Jumlah
|
%
|
Jumlah
|
%
|
|
Pendidikan
Primer
Pendidikan
Sekunder
Pendidikan
Tersier
Jumlah
|
108.495
80.069
6.000
194.564
|
55,76
41,15
3,08
100,00
|
1.659.826
334.8501
7.708
2.002.335
|
82,89
16,72
0,39
100,00
|
Sering dikatakan
bahwa untuk menanggulangi masalah SDM ini, memberikan pelatihan langsung kepada
pengusaha sangat penting dan ini khususnya usaha mikro, tidak sanggung
menanggung sendiri biaya pelatihan, oleh karena itu, peran pemerintah sangat
penting dalam menyelenggarakan program – program pendidikan / pelatihan bagi
pengusaha maupun tenaga kerja di UKM. Memang selama ini sudah banyak pelatihan
dan penyuluhan yang dari Menegkop dan PKM, depperdag, dan Depnaker. Hanya saja
efektivitasnya masih diragukan. Karena banyak pengusaha yang pernah menguikuti
pelatihan – pelatihan dari pemerintah mengeluh bahwa pelatihan – pelatihan
sering terlalu teoritis, waktunya terlalu singkat, tidak ada tindak lanjut
(misalnya beberapa saat setelah pelatihan selesai, pihak pemberi pelatihan
mengunjungi kembali pengusaha untuk melihat sejauh mana pelatihan tersebut
diterapkan dalam kegiatan usahanya) dan sering kali tidak cocok dengan
kebutuhan mereka sebenarnya.
Keterbatasan SDM
merupakan salah satu ancaman serius bagi UKM Indonesia untuk dapat bersaing
baik di pasar domestik maupun pasar internasional di dalam era perdagangan
bebas anti, bahkan di masa itu SDM bersama – sama dengan teknologi akan menjadi
jauh lebih penting dibandingkan modal sebagai faktor penentu utama kemampuan
UKM untuk meningkatkan daya saing globalnya.
Masalah Bahan
Baku
Keterbatasan
bahan baku (dan input – input lainnya) juga sering menjadi salah satu kendala
serius lagi pertumbuhan output atau kelangsungan produksi bagi banyak UKM di
Indonesia. Terutama selama masa krisis, banyak sentra – sentra IKM di sejumlah
subsektor industri manufaktur seperti sepatu dan produk – produk tekstil yang
mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku atau input lainnya, atau karena
harganya dalam rupiah menjadi sangat mahal akibat depresiasi nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS. Tidak sedikit dari mereka terpaksa menghentikan usaha dan
berpindah profesi ke kegiatan – kegiatan ekonomi lainnya, misalnya menjadi
pedagang. Beberapa contoh kasus, misalnya tahun 1998 sekitar 200 pengusaha
tempe di Banjarnegara dekat perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah terpaksa
menghentikan kegiatan produksi mereka karena harga kedelai yang diimpor
ternyata menjadi sangat mahal. Banyak pengusaha rokok kretek di Jawa Tengah
juga terpaksa menghentikan produksi mereka karena naiknya harga bahan baku.
Demikian juga, banyak pengusaha batik tradisional di Pekalongan (Jawa Tengah),
dan ratusan pengusaha kecil sepatu di sejumlah sentra – sentra di Jakarta
(PIK), Cibaduyut (Bandung), dan Medan terpaksa gulung tikar dan berubah profesi
menjadi pedagang kecil atau kerja di sektor transportasi atau menjadi buruh
bangunan.
Keterbatasan
Teknologi
Berbeda dengan
Negara – Negara maju, UKM di Indonesia umumnya masih menggunakan teknologi lama
/ tradisional dalam bentuk mesin – mesin tua atau alat – alat produksi yang
sifatnya manual. Keterbelakangan teknologi ini tidak hanya membuat rendahnya
total faktor productivity dan efisiensi di dalam proses
produksi, tetapi juga rendahnya kualitas produk yang dibuat. Keterbatasan
teknologi khususnya usaha – usaha rumah tangga (mikro), disebabkan oleh banyak
faktor, diantaranya keterbatasan modal investasi untuk membeli mesin – mesin
baru atau untuk menyempurnakan proses produksi, keterbatasan informasi mengenai
perkembangan teknologi atau mesin – mesin dan alat – alat produksi baru, dan
keterbatasan SDM yang dapat mengoperasikan mesin – mesin baru atau melakukan
inovasi – inovasi dalam produk maupun proses produksi. Rendahnya pemilikan /
pengusaha teknologi modern juga merupakan suatu dalam era pasar bebas nanti.
Padahal, di era tersebut, berbeda dengan 20 atau 30 tahun lalu, faktor
teknologi bersama – sama dengan faktor SDM akan menjadi komparatif yang
dimiliki Indonesia atau UKM pada khususnya selama ini, yaitu ketersediaan
berbagai ragam bahan baku dalam jumlah yang berlimpah dan upah tenaga kerja
yang murah akan semakin tidak penting di masa mendatang, diganti oleh dua
faktor keunggulan kompetitif tersebut (teknologi dan SDM).[1]
B. Bentuk
Kelembagaan untuk Perumusan dan Implementasi Kebijaksanaan UKM.
Arah
Kebijaksanaan UKM
Pada masa
lampau, selama tahun 1970–an hingga pertengahan dekade 1980–an, perhatian
pemerintah Indonesia ditujukan hanya kepada perkembangan UK (termasuk usaha
mikro), tidak ada perhatian secara eksplisit diberikan kepada perkembangan UM.
Pada waktu itu, kebijaksanaan UK dianggap sebagai satu bagian penting dari
kebijaksanaan – kebijaksanaan yang menyangkut penciptaan kesempatan kerja dan
pendapatan, penanggulangan kemiskman dan pembangunan ekonomi pedesaan. Akan tetapi,
akhir – akhir ini, khususnya dalam menghadapi era perdagangan bebas yang
mengharuskan adanya upaya – upaya peningkatan daya saing dan perekonomian
nasional dan pemerintah menyadari bahwa di Indonesia jumlah UB tidak banyak.
Sedangkan jumlah UK sangat besar tetapi tidak ada UM dalam yang besar dan kuat
yang secara potensial dapat berfungsi sebagai penghubung antara UK dan UB
(misalnya lewat subcontracting), pemerintah muiai punya
kebijaksanaan UKM. Pernah sekali, seorang mantan Menteri Koperasi mengalakan
sebagai berikut: "Kita harus punya suatu kebijaksanaan UKM yang bagus
untuk memberdayakan UKM di dalam negeri yang secara potensial dapat memberi
suatu kontribusi yang besar terhadap pembangunan dan pertumbuhan eskpor kita.
Di antara UK, perhatian kita harus difokuskan kepada unit – unit usaha yang
modern, sedangkan usaha – usaha mikro menjadi tanggung jawab dari Departemen
Sosial yang dikaitkan dengan kebijaksanaan pengurangan kemiskman di tanah
air". Menurut mantan Menteri tersebut, tujuan utama dan kebijaksanaan UKM
adalah untuk menciptakan suatu lingkungan usaha yang kondusif untuk pembangunan
dan peningkatan daya saing UKM dengan cara menghilangkan semua distorsi –
distorsi pasar melalui deregulasi – deregulasi dan pengurangan beban – beban
birokrasi.
Arab
kebijaksanaan pengembangan UKM di Indonesia dinyatakan secara eksplisit di
dalam Garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999 – 2004. Pedoman
kebijaksanaan negara ini menggaris bawahi 28 butir mengenai arah kebijaksanaan
pembangunan ekonomi nasional untuk periode tahun 1999 – 2004. Kerangka kerja
kebijaksanaan terdiri dari tiga kebijaksanaan utama (Menegkop & UKM, 2000),
yaitu:
(1) Sistem
ekonomi kerakyatan yang didasarkan pada mekanisme pasar dengan suatu persaingan
yang adil dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, keadilan, prioritas pada
sosial), kualitas hidup, lingkkungan dan pembangunan berkelanjutan. Sistem ini
menjamin kesempatan – kesempatan bisnis dan kesempatan kerja yang sama,
perlindungan konsumen dan perlakuan yang adil terhadap masyarakat. Di bawah
kerangka kerja kebijaksanaan ini, memberdayakan KUKM rneniadi prioritas utama
dalam pembangunan ekonomi nasional. Usaha – usaha mengembangkan sistem ekonomi
kerakyatan dapat ditunjukkan dengan : (a) adanya suatu sistern persaingan yang
adil yang menjamin kesempatan bisnis dan kerja yang sama, (b) peranan
pemerintah yang efektif dalam menyempurnakan sistem pasar termasuk pengurangan
pajak, (c) kebijaksanaan ekonomi yang menciptakan kesempatan berusaha bagi
KUKM, (d) suatu pertumbuhan kemitraan usaha antar pengusaha UKM, dan (e)
meningkatkan penerimaan positif dari masyarakat dalam bisnis dan peningkatan
dalam penerimaan dari masyarakat.
(2) Penciptaan
iklim bisnis yang kondusif untuk memberdayakan KUKM
sehingga menjadi efisien, produktif dan kompetitif. Kebijaksanaan ini
bertujuan untuk menciptakan suatu mekanisme yang adil di mana KUKM bias mendapat keuntungan secara proporsional dan dapat bersaing secara adil dengan pemain – pemain bisnis lainnya. Pada dasarnya kebijaksanaan ini sejalan dengan kebijaksanaan – kebijaksanaan lainnya dari ekonomi makro, sekoral, dan pembangunan daerah, local yang secara bersama – sama memberikan dukungan komplementer untuk meningkatkan bisnis KUKM.
sehingga menjadi efisien, produktif dan kompetitif. Kebijaksanaan ini
bertujuan untuk menciptakan suatu mekanisme yang adil di mana KUKM bias mendapat keuntungan secara proporsional dan dapat bersaing secara adil dengan pemain – pemain bisnis lainnya. Pada dasarnya kebijaksanaan ini sejalan dengan kebijaksanaan – kebijaksanaan lainnya dari ekonomi makro, sekoral, dan pembangunan daerah, local yang secara bersama – sama memberikan dukungan komplementer untuk meningkatkan bisnis KUKM.
(3) Kebijaksanaan
peningkatan kapasitas KUKM yang bertujuan untuk membuat KUKM mampu bersaing di
pasar bebas dengan pelaku – pelaku bisnis lainnya. Pada dasarnya, kebijaksanaan
ini bertujuan untuk menghilangkan segala kendala yang dihadapi KUKM, seperti
keterbatasan modal pasar dan input – input untuk berproduksi, kekurangan dalam
kapabilitas manajemen, kekurangan pekerja dengan keahlian – keahlian teknis,
bisnis, teknologi, dan keterbatasan akses ke informasi dan mitra usaha. GBHN
tahun 1999 menekankan bahwa dukungan dari pemerintah terhadap penguatan KUKM
harus dilaksanakan secara selektif dalam bentuk perlindungan terhadap
persaingan yang tidak adil, peagembaagan DM lewat pendidikan dan pelatihan,
diseminasi informasi mengenai bisnis dan teknologi, penyediaan finansial,
lokasi usaha dan kemitraan usaha dengan BUMN dan perusahaan – perusahaan besar
swasta, penyediaan fasilitas – fasilitas untuk agribisnis, IK dan IRT (handicrafts), penyempurnaan
dan pembangunan kapasitas dari lembaga – lembaga lokal dan utilisasi SDA.
Namun demikian,
dalam realitas, kebijaksanaan UKM (terutama UK masih lebih berorientasi kepada
sosial daripada pasar atau persaingan. Kebijaksanaan UKM belum sepenuhnya
terintegrasi dalam kebijaksanaan ekonomi umum / makro di Indonesia.
Konsekuensinya, kebijaksanaan UKM di Indonesia tidak (belum) berfungsi sebagai
elemen – elemen komplemen dan sektoral dari kebijaksanaan ekonomi seperti yang
diharapkan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila sampai saat ini masih
saja terjadi tumpang tindih antara kerja, pembangunan ekonomi dan masyarakat
pedesaan, pemberdayaan perempuan dan pengurangan kemiskinan. Bahkan, di dalam
Strategi Industri Nasional yang dirumuskan oleh Depperindag semasa pemerintahan
Presiden Gus Dur, pentingnya dan peranan dari IKM dalam pembangunan atau usaha
– usaha penyempurnaan daya saing dari industri nasional tidak dinyatakan secara
eksplisit, tidak ada peranan spesifik yang diberikan kepada IKM, misalnya
sebagai industri – industri pendukung yang memproduksi komponen –
komponen, spare parts, mesin – mesin atau input – input lainnya
untuk IB.
Walaupun dalam
GHBN 1999, dinyatakan bahwa sistem ekonomi kerakyatan didasarkan pada
“mekanisme pasar dengan suatu persaingan yang adil dan memperhatikan
pertumbuhan ekonomi”, sistem ini masih lebih terfokus pada isu – isu seperti
untuk “menjamin kesempatan bisnis dan kerja yang sama, perlindungan konsumen,
dan suatu perlakuan yang adil terhadap masyarakat". Tidak dikatakan secara
eksplisit di dalam GBHN tersebut misalnya seperti ini : "dalam menghadapi
era perdagangan bebas dan globalisasi, ekonomi nasional harus diberdayakan atau
daya saing dari ekonomi Indonesia harus ditingkatkan, dan untuk mencapai tujuan
tersebut, UKM di dalam negeri harus diberdayakan atau dimodernisasikan dan
produktivitas, efisiensi dan daya saingnya harus ditingkatkan". Oleh
karena itu, penekanan utamanya harus pada pertanyaan bagaimana menyiapkan UKM
di Indonesia dalam menghadapi era perdagangan bebas, dan sebagai sumber utama
pertumbuhan ekonomi, bukan hanya sebagai sumber utama kesempatan berusaha bagi
masyarakat.
Struktur
Pemerintahan
Pada tingkat
nasional
Di bawah
Konstitusi 1945, Indonesia dipimpin oieh seorang presiden yang dipilih
sekali lima tahun oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang termasuk
parlemen dan otoritas tertinggi negara. Presiden dapat
menunjuk anggota – anggota MPR dan membentuk kabinet dan sejumlah menteri yang
terdiri dan beberapa menteri Negara (non departemen) dan menteri – menteri yang
mengepalai departemen – departemen. Pelaksana pemerintah adalah Presiden dan
kabinetnya sedangkan kekuasaan legislatif di Indonesia adalah di tangan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Berdasarkan
undang – undang yang berlaku, fungsi – fungsi utama dari MPR adalah memilih
presides dan wakilnya, dan menetapkan konstitusi dan garis – garis besar dari
kebijaksanaan pemerintah dan negara. Sedangkan fungsi – fungsi utama dari badan
legislatif (DPR) adalah membuat, merubah, menyempurnakan atau menyetujui usulan
peraturan – peraturan atau undang – undang, termasuk UU APBN berdasarkan usulan
RAPBN dari Menteri Keuangan yang berkoordinasi dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS) lewat Presiden dan membantu pelaksanaan dari
undang – undang dan realisasi dari APBN dam kebijaksanaan pemerintah (lihat
gambar .1) untuk memperlancar tugas – tugas tersebut, DPR membentuk 9 komisi
adalah termasuk persiapaan, diskusi, dan penyempurnaan dari undang – undang
yang diusulkan dalam bidangnya masing – masing, diskusi dan penyempumaan
rencana APBN (RAPBN) yang diusulkan oleh pemerintah (kabinet), dan melakukan
monitor dan evaluasi. Komisi – komisi ini secara rutin melakukan dengar
pendapat / dialog dengan departemen – departemen maupun organisasi – organisasi
non pemerintah seperti Kamar Dagang dan Industri (KADIN), asosiasi – asosiasi
bisnis dan lain – Iain mengenai berbagai macam isu – isu aktual.
Kesembilan
komisi – komisi tersebut, masing – masing dengan bidang / sektornya adalah
sebagai berikut
:
Komisi
1 : Pertahanan dan keamanan, hubungan luar negeri dan
informasi
Komisi 2
: Hukum, hak asasi manusia (HAM), dan masalah – masalah
dalam negeri.
Komisi 3
: Pertanian, kehutanan, dan kelautan (termasuk perikanan)
Komisi 4
: Transportasi, pemukiman dan infrastruktur daerah
Komisi 5
: Industri, perdagangan, koperasi,
turisme
Komisi 6
: Agama dan pendidikan
Komisi
7 : Kesehatan dan kesejahteraan sosial
Komisi 8
: Energi, sumber daya mineral, penelitian dan teknologi, dan
lingkungan
Komisi
9 : Keuangan, perbankan, perencanaan pembangunan
Dalam hal
eksekutif, struktur pemerintah secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga
elemen utama : pembuatan kebijaksanaan dan koordinasi, manajemen dan
pelaksanaan fungsi – fungsi oleh departemen – departemen perwakilan –
perwakilan kunci yang bertanggung jawab untuk setiap elemen adalah sebagai
berikut :
a. Pembuat
kebijaksanaan dan koordinasi
Kabinet terdiri
dari sejumlah menteri yang memiliki kontrol secara keseluruhan dari pemerintah,
memimpin dan mengkoordinasi departemen – departemen dan badan – badan dan
menentukan kebijaksanaan – kebijaksaan pemerintah.
b.Manajemen
Menten keuangan
adalah manajemen kunci dari pemerintah dan bertanggung jawab atas perumusan
strategi ekonomi, kebijaksanaan fiskal (pendapatan pemerintah), anggaran
nasionanl (APBN), manajemen BUMN. dan pengembangan lembaga – lembaga keuangan.
Seperti di Negara – Negara lain. Kekuasaan atas sumber daya finansial yang
dimiliki oleh Menteri Keuangan membuatnya sebagai menteri yang paling berkuasa
di Indonesia. Pada tahun 1997, bank sentral dari Indonesia (Bank Indonesia, BI)
dibuat independen dari pemerintah, jadi posisi BI adalah di luar kabinet. BI
mempunyai tanggung jawab terhadap kebijaksanaan moneter, termasuk kebijaksanaan
nilai tukar rupiah, dan pencapaian target – target inflasi yang ditetapkan oleh
BI sendiri.
c.
Departemen – departemen
Departemen –
departemen pemerintah (umum disebut departemen teknis) secara tradisional
adalah motor utama untuk membuat menjalankan dan mengefektifkan kebijaksanaan
pemerintah dan dibiayai oleh Menteri Keuangan, atas persetujuan oleh Parlemen
(DPR). Departemen – departemen biasanya punya satu hierarki pimpinan, dan
dikepalai oleh seorang menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden.
d.
Menteri – menteri Negara
Kementrian –
kementrian non departemen yang dikenal dengan sebutan Menteri Negara tidak
mengepalai suatu departemen. Mereka adalah asisten – asisten dari Presiden yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Tugas utama mereka
adalah untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijaksanaan – kebijaksanaan
di bidang – bidang tertentu kegiatan – kegiatan pemerintahan negara.
e.
Badan badan pelaksana
Seperti di
banyak Negara – Negara lain, badan – badan pelaksana dibentuk untuk mematahkan
struktur pemerintah yang kaku, yang susah digunakan, ke dalam unit – unit yang
berdiri bebas dan lebih fleksibel, dan untuk memisahkan pemberian layanan dan
implementasi fungsi – fungsi dari departemen – departemen dan tanggung jawab –
tanggung jawab utama dari pembuatan kebijaksanaan dan strategi. Badan – badan
tersebut adalah seperti BAPPENAS, BPS (Biro Pusat Statistik), BKPM (Badan
Koordinasi Penanaman Modal), dan LAN (Lembaga Administrasi Negara).
Pada Tingkat
Regional
Indonesia dibagi
dalam lebih dari 30 propinsi, dan setiap propinsi dikelola oleh seorang
Gubernur dan suatu badan pembuat undang – undang di tingkat regional, yaitu
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang mana anggota – anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum, yang memilih gubernur atas persetujuan presiden. Di
antara propinsi – propinsi, ada lebih dan 200 kabupaten dan lebih dari 55
kotamadya atau kota, dikepalai masing – masing oleh Bupati. Dan walikota. Pada
tingkat lebih rendah, ada banyak kecamatan dan desa. Setiap pemerintah –
pemerintah propinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengelola urusan – urusan
keperintahan mereka sesuai prinsip – prinsip dari otonomi. Gubernur, Bupati,
dan Walikota dipilih secara demokrasi.
Dalam hal
legislatif, berdasarkan UU No. 22/1999, Bupati / Walikota ditentukan oleh DPRD
Kabupaten / kota dan harus disetujui oleh Presiden, Bupati / Walikota
bertanggung jawab kepada DPRD : Setiap macam kebijaksanaan daerah yang
dikeluarkan oleh Bupati / walikota harus disetujui oleh DPRD. Oleh karena itu,
peranan DPRD adalah untuk mengawasi pelaksanaan dari undang – undang /
peraturan – peraturan daerah yang disetujuinya.[2]
C. Petunjuk
Teknis Perkuatan Business Development Service Dalam Pengembangan Sentra Usaha
Kecil Menengah.
PERATURAN
MENTERI NEGARA
KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH
REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR :
02/Per/M.KUKM/I/20082007
TENTANG
PEDOMAN
PEMBERDAYAAN
BUSINESS DEVELOPMENT SERVICES-PROVIDER (BDS-P)
UNTUK PENGEMBANGAN
KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (KUMKM)
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan
ini yang dimaksud dengan :
1. Business
Development Services/Layanan Pengembangan Bisnis (BDS/LPB) adalah kegiatan
pemberian layanan (jasa) pengembangan bisnis, untuk meningkatkan kinerja KUMKM.
2. Business
Development Services–Provider (BDS-P) adalah lembaga yang memiliki kompetensi
dan kemampuan untuk melakukan kegiatan layanan pengembangan bisnis KUMKM.
3. Business
Development Services-Provider Unggulan (BDS-P Unggulan) adalah BDS-P yang
dinilai memiliki kinerja (prestasi) lebih menonjol dalam pengembangan bisnis
KUMKM.
4. Usaha
Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria
sebagaimana diatur menurut undang-undang tentang Usaha Kecil.
5. Usaha
Menengah adalah kegiatan ekonomi yang berskala menengah dan memenuhi kriteria
sebagaimana diatur menurut Instruksi Presiden tentang Pemberdayaan Usaha
Menengah.
6. Koperasi
adalah badan usaha yang beranggotakan orang/seorang atau badan hukum Koperasi
yang melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi, sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan, sebagaimana
diatur menurut Undang-undang tentang Perkoperasian.
7. Pemberdayaan
adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam
bentuk penumbuhan iklim usaha, pembinaan dan pengembangan sehingga Usaha Kecil
mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan
mandiri, sebagaimana diatur menurut Undang-undang tentang Usaha Kecil.
8. Pembinaan
dan Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat melalui pemberian bimbingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan
dan meningkatkan kemampuan Usaha Kecil agar menjadi usaha yang tangguh dan
mandiri, sebagaimana diatur menurut Undang-undang tentang Usaha Kecil.
9. Jasa
adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan
dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha sebagaimana
diatur menurut Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha tidak sehat.
10. Sentra
UKM adalah pusat kegiatan bisnis di kawasan/lokasi tertentu dimana terdapat UKM
yang menggunakan bahan baku/sarana yang sama, menghasilkan produk yang
sama/sejenis serta memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi bagian integral
dari klaster dan sebagai titik masuk (entry point) dari upaya
pengembangan klaster.
1. Konsultan
KUMKM adalah seorang tenaga profesional yang menyediakan jasa nasehat ahli,
dalam bidang keahlian tertentu menurut fungsi dan/atau bidang/sektor usaha
tertentu, misal akuntansi, hukum, usaha perikanan, peternakan, manufakturing,
dll.
2. Pendamping
KUMKM adalah orang/lembaga yang menjalin relasi dengan KUMKM dalam rangka
memperkuat dukungan, memotivasi, memfasilitasi dan menjembatani kebutuhan untuk
pemberdayaan KUMKM.
3. Standar
Kompetensi Kerja adalah alat ukur minimal yang harus dimiliki oleh seorang
pendamping/penyuluh/konsultan untuk menganalisa uraian tugasnya dalam rangka
membina dan mengembangkan usaha KUMKM.
4. Sertifikasi
Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara
sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia dan/atau internasional.
5. Pemerintah
Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintah daerah.
6. Kelompok
Kerja (Pokja) pemberdayaan BDS-P adalah organisasi ex-officio di tingkat pusat
dan daerah, untuk melakukan tugas dan tanggung jawab khusus dalam
penyelenggaraan pemberdayaan BDS-P bagi Pengembangan KUMKM, yang organisasi dan
tugasnya diatur dalam peraturan ini.
7. Perguruan
Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
8. Menteri
adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah.
Bagian Kedua
Tujuan dan
Sasaran
Pasal 2
(1) Tujuan
Pemberdayaan BDS-P :
a. meningkatkan
kemampuan BDS-P dalam melakukan layanan pengembangan bisnis sesuai kebutuhan
KUMKM;
b. meningkatkan
kinerja bisnis KUMKM yang memperoleh layanan pengembangan bisnis.
(2) Sasaran
Pemberdayaan BDS-P :
a. meningkatnya
jumlah dan kualitas BDS-P yang profesional dan BDS-P unggulan;
b. meningkatnya
jumlah dan kualitas tenaga konsultan/pendamping KUMKM pada BDS-P;
c. meningkatnya
jumlah dan kinerja bisnis KUMKM, termasuk penumbuhan usaha baru;
d. meningkatnya
peran aktif Pemerintah, Pemerintah Provinsi/DI, Pemerintah Kabupaten/Kota,
Perguruan Tinggi, Dunia Usaha dan pihak-pihak terkait lainnya, dalam
memberdayakan BDS-P untuk pengembangan KUMKM di daerah.
Bagian Ketiga
Fungsi dan Tugas
Pokok BDS-P
Pasal 3
(1) BDS-P
berfungsi sebagai lembaga penyedia layanan pengembangan bisnis sesuai dengan
kebutuhan KUMKM.
(2) BDS-P
mempunyai tugas pokok :
a.
bimbingan-konsultasi layanan pengembangan bisnis;
b. pendampingan
bisnis;
c. memfasilitasi
akses terhadap sumber daya produktif antara lain: modal, pasar, teknologi,
manajemen dan informasi.
(3) Pemberian
layanan pengembangan bisnis kepada KUMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilakukan sesuai dengan kebutuhan, dan dapat berupa antara lain, identifikasi
potensi dan permasalahan bisnis, bimbingan pengembangan rencana bisnis,
kemitraan dan kebutuhan pengembangan bisnis lainnya.
Bagian Keempat
Kelembagaan
BDS-P
Pasal 4
Pelaksanaan
fungsi dan tugas layanan pengembangan bisnis KUMKM sebagaimana dimaksud pada
pasal 3, dapat dilaksanakan oleh :
a perorangan
oleh tenaga ahli/tenaga konsultan/tenaga pendamping KUMKM secara perseorangan
dalam wadah BDS-P;
b lembaga BDS-P
dalam bentuk antara lain, yayasan, perseroan terbatas, koperasi, perguruan
tinggi dan organisasi kemasyarakatan.
BAB II
Bagian Kesatu
Kegiatan
Pemberdayaan BDS-P
Pasal 5
Kegiatan
pemberdayaan BDS-P meliputi :
a. penciptaan
iklim usaha antara lain, koordinasi dan pengembangan kebijakan di bidang
layanan pengembangan bisnis;
b. pembinaan dan
pengembangan antara lain, pengembangan standar kompetensi, sertifikasi,
peningkatan kualitas tenaga ahli/tenaga konsultan/tenaga pendamping KUMKM,
dukungan insentif, serta monitoring dan evaluasi;
Bagian Kedua
Pengembangan
BDS-P Unggulan
Pasal 6
(1) Secara
selektif BDS-P diarahkan untuk tumbuh menjadi BDS-P unggulan, yang mampu
mendorong pengembangan UKM sentra dan/atau UKM lainnya.
(2) BDS-P
unggulan memiliki kriteria umum yaitu profesional, mandiri dan memiliki
jaringan kerjasama usaha.
(3) BDS-P
unggulan didorong dan difasilitasi untuk mampu melakukan layanan pengembangan
bisnis secara produktif bagi kemanfaatan KUMKM, dan dapat menjadi penghela bagi
BDS-P lainnya.
Bagian ketiga
Fasilitasi
Program
Pasal 7
(1) BDS-P yang
aktif melakukan kegiatan layanan pengembangan bisnis dan kinerjanya dinilai
baik, dapat memperoleh dukungan dan fasilitasi dari Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha.
(2) Dukungan dan
fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari APBN/APBD dan
sumber lain yang sah dan tidak mengikat, sesuai dengan kewajaran, kepatutan dan
kemampuan keuangan negara.
(3) BDS-P dapat
memperoleh pendapatan (fee) jasa layanan pengembangan bisnis
dari KUMKM yang dibina.
BAB III
ORGANISASI
PELAKSANAAN
Organisasi
Penyelenggara
Pasal 8
(1) Organsiasi
penyelenggara pemberdayaan BDS-P untuk pengembangan KUMKM terdiri dari :
a. organisasi
penyelenggara tingkat Pemerintah Pusat Cq. Kementerian Negara Koperasi dan UKM,
dilaksanakan oleh Deputi Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi
Usaha;
b. organisasi
penyelenggara tingkat Pemerintah Daerah Cq. Dinas/Badan yang membidangi
Koperasi dan UKM Provinsi/Kabupaten/Kota.
(2) Dalam rangka
koordinasi Pemberdayaan BDS-P, dapat dibentuk :
a. Kelompok
Kerja (Pokja) di tingkat pusat, beranggotakan unsur Kementerian Negara Koperasi
dan UKM dan instansi pemerintah terkait, ditetapkan berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dan/atau Deputi Menteri
Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha, dengan tugas antara lain
:
1) merumuskan
kebijakan pemberdayaan BDS-P tingkat nasional
2) melakukan
koordinasi pemberdayaan BDS-P antara Pusat dan Daerah;
3) melakukan
pengembangan parameter-parameter standar bagi peningkatan kemampuan BDS-P, sosialisasi,
monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemberdayaan BDS-P;
4) menyusun dan
melaporkan pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P, kepada Menteri Negara
Koperasi dan UKM,
b. Kelompok
Kerja (Pokja) di tingkat Daerah beranggotakan unsur Pemerintah Daerah,
Perguruan Tinggi, Dunia Usaha dan Organisasi Kemasyarakatan, ditetapkan
berdasarkan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota, dengan tugas antara lain :
1) merumuskan
kebijakan dan program pemberdayaan BDS-P di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota;
2) melakukan koordinasi
pemberdayaan BDS-P antara Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan Perguruan Tinggi;
3) mendorong
Perguruan Tinggi berperan antara lain, mengembangkan inovasi, perluasan akses
Teknologi Tepat Guna, pengembangan modul dan perangkat lunak layanan pengembangan
bisnis bagi KUMKM;
4) mendorong
Dunia Usaha berperan antara lain, memfasilitasi perluasan jaringan usaha dan
kemitraan.
5) melakukan
sosialisasi, pembinaan-pengembangan, monitoring dan evaluasi kinerja BDS-P;
6) menyusun dan
melaporkan pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P kepada Gubernur,
Bupati/Walikota.
BAB IV
MONITORING DAN
EVALUASI
Pasal 9
Dalam rangka
optimalisasi pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P untuk pengembangan KUMKM,
perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara periodik sebagai berikut :
a. BDS-P
menyampaikan laporan perkembangan layanan bisnis kepada Dinas/Badan yang
membidangi Koperasi dan UKM Kabupaten/Kota, Provinsi, berisi :
1) perkembangan
organisasi dan kelembagaan;
2) pelaksanaan
kegiatan layanan pengembangan bisnis kepada UKM;
3) perkembangan
kinerja UKM binaan BDS-P.
b. Dinas/Badan
yang membidangi Koperasi dan UKM Provinsi menyampaikan laporan perkembangan
BDS-P kepada Kementerian Negara Koperasi dan UKM Cq. Deputi Menteri Negara
Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha;
c. Deputi
Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha menyampaikan
laporan perkembangan BDS-P kepada Menteri Negara Koperasi dan UKM. [3]
[1] Drs. Sudrajad, MM.,Modul 5 : Pembinaan dan Pengembangan UKM,
Universitas Mercubuana dihttp://kk.mercubuana.ac.id diakses tanggal 18 desember 2012 pukul 12:30 WIB
[2] Drs. Sudrajad, MM.,Modul 6 : Pembinaan Kewirausahaan, Universitas
Mercubuana dihttp://kk.mercubuana.ac.id diakses tanggal 18 desember 2012 pukul 12:30 WIB.
No comments:
Post a Comment