BAB
8
PANDANGAN
ISLAM TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL BAGI PELAKU BISNIS
(M.
TAUFIQ ABADI MM)
PENDAHULUAN
Sejalan dengan perkembangan jaman yang semakin maju
serta laju perekonomian dunia yang semakin cepat, dan diberlakukannya sistem
perdagangan bebas sehingga batas kita dan batas dunia akan semakin kabur. Hal
ini jelas membuat semua kegiatan saling berpacu satu sama lain untuk
mendapatkan kesempatan dan keuntungan.
Dengan kondisi seperti ini, pelaku bisnis kita jelas
akan semakin berpacu dengan waktu serta negara-negara lain agar terwujud suatu
tatanan perekonomian yang saling menguntungkan. Namun perlu kita pertanyakan
bagaimana jadinya jika pelaku bisnis dihinggapi kehendak saling menindas agar
memperoleh tingkat keuntungan yang berlipat ganda. Inilah yang merupakan
tantangan bagi etika dan tanggung jawab sosial bisnis.
Tanggung jawab sosial dunia bisnis tidak saja
berorientasi pada komitmen sosial yang menekankan pada pendekatan kemanusiaan,
belas kasihan, panggilan religi atau panggilan moral dan semacamnya, tetapi
menjadi kewajiban yang sepantasnya dilaksanakan oleh pelaku bisnis dalam ikut
serta mengatasi permasalahan sosial yang menimpa masyarakat. Dalam perkembangannya
praktik tanggung jawab sosial pelaku bisnis telah banyak dilakukan secara
sadar, artinya menerpakan tanggung jawab pelaku bisnis adalah investasi untuk
pertumbuhan dan keterlanjutan bisnis sehingga tak lagi dilirik sebagai pusat
biaya.
A. Pengertian Corporate Social
Responsibility (CSR)
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social
Responsibility(CSR) merupakan bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan
perusahaan melalui berbagai kegiatan yang dilakukan dalam rangka penjagaan
lingkungan, norma masyarakat, partisipasi pembangunan, serta berbagai bentuk
tanggung jawab sosial lainnya. [1]
Ada beberapa pengertian CSR menurut beberapa ahli:
1. R.W. Griffin (2004)
memberikan definisi tanggung jawab sosial sebagai usaha suatu bisnis yang
menyeimbangkan komitmennya terhadap kelompok dan individu dalam lingkungannya
yang meliputi konsumen, bisnis lain, karyawan, dan investor.
2. Boove & kurtz (2002)
mendefinisikan tanggung jawab sosial adalah perorangan manajemen terhadap
kewajibannya untuk mempertimbangkan laba, kepuasan pelanggan, dan kesejahteraan
sosial sebagai nilai yang sepadan dalam mengevaluasi kinerja perusahaan.[2]
3. Menurut Clement K. Sansat
berpendapat bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) adalah
komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan
berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersama dengan peningkatan kualitas
hidup dari karyawan dan keluarganya, masyarakat lokal dan masyarakat secara
lebih luas.
4. Johnson and johnson
mendefinisikan CSR: “is about how companies manage the business processes to
produce an overall positive impact on society”. Yang maksudnya, bagaimana cara
mengelola sebuah perusahaan agar memiliki dampak positif terhadap diri dan
lingkungannya. Lingkunagn di sini tentu saja tidak dalam arti sosial, tetapi
juga daam arti lingkungan alam dimana manusia hidup di dalamnya.
Akhirnya dari beberapa definisi di atas dapat
dipahami bahwa pada dasarnya CSR merupakan cita-cita perwujudan tanggung jawab
sosial perusahaan dalam bentuk tindakan yang berdasarkan etika dengan tujuan
untuk meningkatkan ekonomi secara berkelanjutan disertai peningkatan kualitas
hidup karyawan beserta keluarganya, sekaligus peningkatan kualitas hidup
masyarakat sekitar dan masyarakat pada umumnya.[3]
B. CSR dalam perspektif Islam
CSR dalam perspektif Islam adalah praktik bisnis
yang memiliki tanggung jawab etis secara Islami. Perusahaan memasukan
norma-norma agama Islam yang ditandai dengan adanya komitmen ketulusan dalam
menjaga kontrak sosial di dalam operasinya. Dengan demikian, praktik bisnis
dalam kerangka CSR Islami mencakup serangkaian kegiatan bisnis dalam bentuknya.
Meskipun tidak dibatasi jumlah kepemilikan barang, jasa serta profitnya, namun
cara-cara untuk memperoleh dan pendayagunaannya dibatasi oleh aturan halal dan
haram oleh syari’ah.
Menurut Islam, CSR yang dilakukan harus bertujuan
untuk menciptakan kebajikan yang dilakukan bukan melalui aktivitas-aktivitas
yang mengandung unsur riba, melainkan dengan praktik yang diperintahkan Allah
berupa zakat, infak, sedekah, dan wakaf. CSR juga harus mengedepankan nilai
kedermawanan dan ketulusan hati. Perbuatan ini lebih Allah cintai dari
ibadah-ibadah mahdhah. Rasulullah SAW bersabda, “Memenuhi keperluan
seorang mukmin lebih Allah cintai dari pada melakukan dua puluh kali haji dan
pada setiap hajinya menginfakan ratusan ribu dirham dan dinar”. Dalam hadits
lain, Rasulullah SAW juga bersabda, “Jika seorang muslim berjalan memenuhi
keperluan sesama muslim, itu lebih baik baginya daripada melakukan tujuh puluh
kali thawaf di Baitullah.”
Selain itu, pelaksanaan CSR dalam Islam juga
merupakan salah satu upaya mereduksi permasalahan-permasalahan sosial yang
terjadi di masyarakat dengan mendorong produktivitas masyarakat dan menjaga
keseimbangan distribusi kekayaan di masyarakat. Islam mewajibkan sirkulasi
kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat dan mencegah terjadinya
sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang . Allah Berfirman : “....supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu...” (QS.
Al hasyr: 7).
Praktik CSR dalam Islam menekankan pada etika bisnis
islami. Operasional perusahaan harus terbebas dari berbagai modus praktik
korupsi dan memberi jaminan layanan maksimal sepanjang operasionalnya,
termasuk layanan terpercaya bagi setiap produknya (provision and
development of safe and reliable products). Hal ini yang secara tegas
tercantum dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman: “.... Maka sempurnakanlah
takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang
takaran dan timbangannya,....” (QS. al-A’raf ayat 85).
Dengan demikian, melakukan praktik CSR jika
motivasinya (niat) tulus membantu masyarakat yang membutuhkan, niscaya bisa
dikategorikan ke dalam ghairu mahdhoh. Maksudnya, kendati program itu pada
asalnya bukan termasuk ibadah, namun karena semata untuk membantu orang lain
dan berharap ridha Allah SWT, maka subjek pelakunya akan mendapat pahala
sebagaimana melakukan ibadah. Ini berarti apabila niat yang dicanangkan seperti
itu, maka keuntungan melakukan CSR tidak saja perusahaan akan semakin dekat
dengan masyarakat. Namun yang lebih bermakna, para pengelolanya akan semakin
dekat dan mendapat pahala dari Allah SWT.
Apabila tidak, katakan saja program CSR itu hanya
bermotif ekonomi semata, maka niscaya tidak akan memperoleh pahala ibadah ,
karena sejak awal telah terealinasasi dari nilai- nilai teologis yang sejatinya
dapat disetting sejak merencanakan program. Karena itu betapa ruginya
perusahaan yang melakukan program CSR hanya semata- mata ingin meraih
keuntungan duniawi sesaat, terpisah sama sekali dari nilai- nilai teologis yang
transenden ukhrowiyah.[4]
C. Pendekatan Tanggung Jawab Sosial
Untuk mengimplementasikan tanggung jawab sosial,
R.W. Griffin (2004) mengemukakan empat pendekatan tanggung jawab sosial sebagai
berikut:
1. Sikap obstruktif, yaitu
pendekatan terhadap tanggung jawab sosial yang melibatkan tindakan seminimal
mungkin dan melibatkan usaha-usaha menolak atau menutupi pelanggaran yang
dilakukan. Perusahaan yang menganut pendekatan seperti ini tidak terlalu peduli
terhadap perilaku etis dan umumnya sedapat mungkin menyembunyikan tindakannya
yang salah.
2. Sikap defensif, yaitu
pendekatan tanggung jawab sosial yang ditandai dengan perusahaan hanya persyaratan
hukum secara minimum atas komitmennya terhadap kelompok dan indvidu dalam
lingkungan sosialnya.
3. Sikap akomodatif, yaitu
pendekatan tanggung jawab sosial yang diterapkan suau perusahaan dengan
melakukannya apabila diminta melebihi persyaratan hukum minimum dalam
komitmennya terhadap kelompok dan individu dalam lingkungan sosialnya.
4. Sikap produktif, yiatu
pendekatan tanggung jawab sosial yang diterapkan suatu perusahaan, yaitu secara
aktif mencari peluang untuk menyumbang semi kesejahteraan kelompok dan individu
dalam lingkungan sosialnya.[5]
B. Program
TanggungJawabSosial Perusahaan (CSR)
1. Community
Relation
Kegiataninimenyangkutpengembangankesepahamanmelaluikomunikasidaninformasikepadaparapihak
yang terkait.Beberapakegiatan yang dilakukan PLN antara lain:
melaksanakansosialisasiinstalasilistrik,
2. Community
Services
Program bantuandalamkegiataniniberkaitandenganpelayananmasyarakatataukepentinganumum.Kegiatan
yang dilakukanselamatahun 2011, antara lain memberikanBantuanbencanaalam.
3. Community
Empowering
Kegiatan ini terdiri dari program-program yang
memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang
kemandiriannya.
C. Pandangan
Islam terhadapTanggungJawabSosial Perusahaan
Menurut Sayyid Qutb, Islam mempunyai prinsip
pertanggungjawaban yang seimbang dalam segala bentuk dan ruang lingkupnya.
Antara jiwa dan raga, antara individu dan keluarga, antara individu dan sosial
dan, antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Tanggung jawab sosial
merujuk pada kewajiban-kewajiban sebuah perusahaan untuk melindungi dan memberi
kontribusi kepada masyarakat dimana perusahaan itu berada.
Sebuah perusahaan mengemban tanggung jawab sosial
dalam tiga domain:
1. Pelaku-Pelaku
Organisasi, meliputi:
a. Hubungan
Perusahaan denganPekerja
1) Keputusan
Perekrutan, Promosi, dll bagi pekerja.
Islam mendorong kita untuk memperlakukan setiap
muslim secara adil. Sebagai contoh, dalam perekrutan, promosi dan
keputusan-keputusan lain dimana seorang manajer harus menilai kinerja seseorang
terhadap orang lain, kejujuran dan keadilan adalah sebuah keharusan.
2) Upah yang adil
Dalam organisasi Islam, upah harus direncanakan
dengan cara yang adil baik bagi pekerja maupun juga majikan. Pada hari
pembalasan, Rasulullah SAW akan menjadi saksi terhadap orang yang mempekerjakan
buruh dan mendapatkan pekerjaannya diselesaikan olehnya namun tidak memberikan
upah kepadanya.
3) Penghargaan
terhadap keyakinan pekerja
Prinsip umum tauhid atau keesaan berlaku untuk semua
aspek hubungan antara perusahaan dan pekerjaannya. Pengusaha Muslim tidak boleh
memperlakukan perkerjaannya seolah-olah Islam tidak berlaku selama waktu kerja.
Sebagai contoh, pekerja Muslim harus diberi waktu untuk mengerjakan shalat,
tidak boleh dipaksa untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan aturan
moral Islam, harus di beri waktu istirahat bila mereka sakit dan tidak dapat
bekerja, dan lain-lain. Untuk menegakkan keadilan dan keseimbangan, keyakinan
para pekerja non-muslim juga harus dihargai.
4) Akuntabilitas
Meskipun majikan atau pekerja secara sengaja saling
menipu satu sama lain, namun mereka berdua harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya di depan Allah SWT. sebagai contoh, Rasulullah SAW tidak pernah
menahan upah siapapun.
5) Hak Pribadi
Jika seorang pekerja memiliki masalah fisik yang
membuatnya tidak dapat mengerjakan tugas terentu atau jika seorang pekerja
telah berbuat kesalahan di masa lalu, sang majikan tidak boleh menyiarkan
berita tersebut. Hal ini akan melanggar hak pribadi sang pekerja.
b. Hubungan
Pekerja dengan Perusahaan
Berbagai persoalan etis mewarnai hubungan antara
pekerja dengan perusahaan, terutama berkaitan dengan persoalan kejujuran,
kerahasiaan, dan konflik kepentingan. Dengan demikian, seorang pekerja tidak
boleh menggelapkan uang perusahaan dan jyga tidak boleh membocorkan rahasia
perusahaan kepada orang luar. Praktek tidak etis lain terjadi jka para manajer
menambahkan harga palsu untuk makanan dan pelayanan dlam pembukuan keuanan
perusahaan mereka. Beberapa dari mereka melakukan penipuan karena merasa
dibayar rendah dan ingin mendapatkan upah yang adil. Pada saat yang lain, hal
ini dilakukan hanya karena ketamakkan. Bagi para pekerja Muslim, Allah SWT
memberikan peringatan yang jelas di dalam Al-quran:
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan
yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa,
melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar”
Pekerja Muslim yang menyadari makna ayat diatas
seharusnya tidak berbuat sesuatu dengan cara-cara yang tidak etis.
c. Hubungan
Perusahaan dan Pelaku Usaha Lain
1) Distributor
Berkaitan dengan distributor, etika bisnis
menyatakan bahwa seseorang harus melakukan negosiasi dengan harga yang adil dan
tidak mengambil keuntungan berdasarkan bagian atau kekuasaan yang lebih besar.
Untuk menghindari kesalahpahaman di masa depan, Allah SWT telah memerintahkan
kita untuk membuat perjanjian kewajiban bisnis secara tertulis. Transaksi
gharar antara perusahaan dan pemasoknya juga dilarang dalam Islam.selain
persoalan di perbolehkannya praktek agensi secara umum, pedagang dilarang
campurtangan dalam sistem pasar bebas melalui suatu bentuk perantaraan
tertentu. Perantaraan semacam ini mungkin akan menyebabkan terjadinya inflasi
harga.
2) Pembeli atau
Konsumen
Pembeli
seharusnya menerima barang dalam kondisi baik dalam kondisi baik dan dengan
harga yang wajar.mereka juga harus di beri tau bila terdapat kekurangan
kekurangan pada suatu barang islam melarang praktek praktek di bawah ini ketika
berhubungan dengan konsumen atau pembeli:
a. Penggunaan
alat ukur atau timbanagan yang tidak tepat
b. Penimbunan dan
manipulasi harga
c. Penjualan
barang palsu atau rusak
d. Bersumbah
palsu untuk mendukung sebuah penjualan
e. Membeli
barang curian
f. Larangan
mengambil bunga atau riba
3) Pesaing
Meskipun negara negara barat menyatakan diri sebagai
kawasan berdasarkan prinsip persaingan pasar, publikasi publikasi bisnis utama
akan memperlihatkan bahwa sebuah bisnis akan brusaha memenangkan dirinya dan
mengeliminasi para pesaingnya. Dengan mengeliminasi para pesaingnya, sebuah
perusahaan selanjutnya akan dapat memperoleh hasil ekonomi di atas rata rata
melalui praktek praktek penimbunan dan monopoli harga.
2. Lingkungan
Alam
Kaum muslim selalu didorong untuk menghargai alam.
Bahkan, Allah telah menunjuk keindahan alam sebagai salah satu dari
tanda-tanda-Nya. Islam menekankan peran manusia atas lingkungan alam dengan
membuatnya bertanggung jawab terhadap lingkungan sekelilingnya sebagai khalifah
Allah SWT. Dalam peranannya sebagai khalifah, seorang pengusaha Muslim
diharapkan memelihara lingkungan alamnya. Kecenderungan mutakhir paham
environmentalisme bisnis, dimana sebuah usaha secara proaktif memberi perhatian
sangat cermat dalam memperhatikan lingkungan, sebenarnya bukan merupakan suatu
yang baru. Sejumlah contoh semakin memperjelas betapa pentingnya hbungan Islam
dengan lingkungan alam, perlakuan terhadap binatang, polusi lingkungan dan
hak-hak kepemilikan, dan polusi lingkungan terhadap sumber-sumber alam “bebas”
seperti misalnya udara dan air.
3. Kesejahteraan
Sosial Masyarakat
Selain harus bertanggung jawab kepada berbagai pihak
yang berkepentingan dalam usahanya dan lingkungan alam sekelilingnya, kaum
Muslim dan organisasitempat mereka bekerja juga diharapkan memberikan perhatian
kepada kesejahteran umum masyarakat dimana mereka tinggal. Sebagai bagian masyarakat, pengusaha Muslim harus
turut memperhatikan kesejateraan anggotanya yang miskin dan lemah. Bisnis
Muslim harus memberi perhatian kepada usaha-usaha amal dan mendukung berbagai
tindakan kedermawanan.[4]
D. Tanggung jawab sosial perusahaan
terhadap stakeholders
1. Pelanggan, meliputi:
a. Pelayanan yang prima;
b. Harga yang wajar;
c. Komitmen terhadap
pengiriman barang;
d. Komitmen terhadap garansi;
e. Komitmen terhadap kualitas
produk.
2. Karyawan, meliputi:
a. Jaminan kesehatan;
b. Perbaikan
nasib/peningkatan kesejahteraan;
c. Jaminan keselamatan kerja;
d. Bantuan perumahan;
e. Jaminan kesempatan kerja
yang sama.
3. Investor, meliputi:
a. Manajer mengikuti prosedur
akuntansi yang pantas;
b. Memberikan informasi yang
tepat dan benar mengenai laporan keuangan;
c. Mengelola organisasi dan
perlindungan hak-hak pemegang saham;
d. Transparan terhadap
profitabilitas;
e. Menghindari manipulasi
bunga;
f. Perjanjian yang
saling menguntungkan;
g. Menjaga hubungan yang
harmonis.
4. Masyarakat, meliputi:
a. Kesehatan masyarakat;
b. Pengembangan budaya;
c. Pengembangan pendidikan.
5. Lingkungan sekitar,
meliputi:
a. Penanggulangan pencemaran
limbah;
b. Penanggunlangan polusi
udara dan tanah;
c. Penghijauan.
DAFTAR PUSTAKA
Buchari Alma dan Donni Juni, Manajemen Bisnis
Syari’ah, Bandung: Alfabeta, 2009
Juhaya S. Pradja , Manajemen Bisnis Syari’ah
& Kewirausahaan, Bandung: Pustaka Setia, 2013
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis, Jakarta:
Penebar Plus, 2012
[2] Juhaya
S. Pradja, Manajemen Bisnis Syari’ah & Kewirausahaan, Bandung: Pustaka
Setia, 2013, hlm. 280-281
No comments:
Post a Comment